16 Juni 2008

DAMPAK ALIH FUNGSI HUTAN LINDUNG TERHADAP PERUBAHAN EKOSISTEM DI LINGKUNGAN SEKITARNYA

DAMPAK ALIH FUNGSI HUTAN LINDUNG TERHADAP PERUBAHAN EKOSISTEM DI LINGKUNGAN SEKITARNYA

(Tinjauan Kasus Alih Fungsi Kawasan Hutan Mangrove Tanjung Api-api sebagai Kawasan Industri dan Pelabuhan)


Oleh :

IDIL VICTOR


PENDAHULUAN
Keberadaan hutan lindung di wilayah Indonesia sebagai paru-paru dunia tidak hanya dirasakan manfaatnya secara nasional namun hingga ke tingkat global. Pemanasan global yang kerap kali menjadi isu hangat di tingkat internasional sering kali menyudutkan negara-negara yang memiliki hutan sebagai penyebab terjadinya global warming.
Indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki hutan sangat luas diandalkan negara-negara lain untuk mampu menahan arus pemanasan global. Keberadaan hutan lindung menjadi salah satu alasan Indonesia tetap di daulat sebagai wilayah paru-paru dunia. Namun keberadaan hutan lindung di wilayah Indonesia dari hari ke hari semakin terancam keberadaannya. Luas hutan lindung di Indonesia semakin berkurang dengan adanya alih fungsi lahan.
Alih fungsi lahan yang terjadi di Indonesia kerap kali diakibatkan oleh kebijakan pemerintah seperti dalam pemekaran wilayah, baik pemekaran Provinsi ataupun Kabupaten/Kota. Hutan lindung yang seharusnya tidak boleh berubah fungsi kerap kali terancam akibat pemekaran wilayah. Di Pulau Bintan, wilayah hutan lindung justru masuk sebagai daerah yang akan di jadikan Ibu kota. Selain itu kawasan hutan mangrove di Banyuasin yang masuk dalam kawasan Hutan Lindung Dunia justru beralih fungsi menjadi kawasan industri dan pelabuhan dan rencananya kedepan akan menjadi kawasan Hutan Tanaman Industri (HTI).
Alih fungsi lahan semestinya harus mempunyai dampak positif bagi kehidupan manusia. Baik dari sisi kelangsungan hidup sebagai mahluk hidup maupun untuk meningkatkan kesejahteraan. Alih fungsi hutan lindung menjadi hutan produksi maupun kawasan industri di harapkan dapat menjadi salah satu faktor pendukung meningkatnya kesejahteraan masyarakat yang memanfaatkan hal tersebut.
Kawasan Pelabuhan Tanjung Api-api adalah kawasan yang terdiri dari hutan mangrove. Kawasan Mangrove merupakan ekosistem dominan di kawasan pesisir yang memiliki berbagai fungsi antara lain : fungsi fisik, fungsi biologis dan fungsi ekonomis. Adanya pemukiman didalam dan disekitar hutan mangrove tentu akan berpengaruh secara langsung dan tidak langsung terhadap semua fungsi yang dimiliki mangrove tersebut.
Interaksi dan ketergantungan masyarakat sekitar hutan seperti nelayan, terhadap kawasan mangrove akan berpengaruh pada kehidupan para nelayan karena intensitas interaksi harus mengarah pada hubungan yang saling ketergantungan, dimana nelayan mendapat manfaat dari keberadaan hutan mangrove dan kontribusi masyarakat menjaga keutuhan hutan mangrove.
Untuk mengetahui fungsi fisik, fungsi biologis dan fungsi ekonomis terhadap keutuhan kawasan maka perlu dilakukan penelitian nilai ekonomi secara terukur pada kawasan hutan mangrove dan memprediksi besar kerusakan yang diakibatkan perubahan status kawasan mangrove menjadi pelabuhan.

PERMASALAHAN
Dalam kesempatan ini akan dibahas mengenai permasalahan lingkungan hidup dengan memfokuskan kepada pemaparan akibat pengalihan fungsi hutan mangrove sebagai ekosistem asal menjadi kawasan pelabuhan dan industri terhadap keberadaan ekosistem hutan mangrove itu sendiri dan bagi manusia atau makhluk hidup disekitarnya. Selain itu juga akan dipaparkan mengenai dasar pengalihan fungsi serta rencana pengembangan kawasan Pelabuhan Tanjung Api-api kedepan baik dari segi rasio keuntungan atau kerugian maupun dari segi Amdal.

PEMBAHASAN

Kawasan Pelabuhan Tanjung Api-api semula adalah kawasan hutan mangrove seluas 600 Ha yang termasuk kedalam Kawasan Hutan Lindung Air Telang Kabupaten Banyuasin Propinsi Sumatera Selatan. Kawasan ini tercatat sebagai daerah penyangga konservasi Taman Nasional Sembilang yang telah ditetapkan sebagai hutan konservasi dunia. Rencana pembangunan kawasan Pelabuhan Tanjung Api-api dan fasilitas pendukungnya meliputi :

1. Rencana pembangunan kawasan pelabuhan Tanjung Api-api seluas 600 Ha yang berada di kawasan Hutan Lindung Pantai Air Telang seluas 12.360 Ha.
2. Kawasan Pelabuhan Tanjung Api-api yang terdiri dari :
3. Pelabuhan Penyeberangan atau Ferry seluas 21 Ha
4. Pelabuhan Laut Regional seluas 91 Ha.
5. Docking Area (dalam kawasan Pelabuhan Laut).
6. Pelabuhan General Cargo seluas 80 ha.
7. Pelabuhan Peti Kemas seluas 80 Ha.
8. Pelabuhan Curah Cair seluas 80 Ha.
9. Pelabuhan Curah Kering seluas 95 Ha.
10.Jalan dan rel kereta api seluas 153 Ha.


Selain itu diluar Pembangunan Kawasan Pelabuhan Tanjung Api-api juga diperketat dengan adanya wilayah industri seluas 12.300 Ha yang nantinya menjadi (South Sumatera Eastern Corridor Development) SECDe yang dicanangkan oleh Kabupaten Banyuasin dan Provinsi Sumatera Selatan dapat menjadikan kota industri mandiri terpadu yang akan menyerap banyak tenaga kerja dari dalam Propinsi Sumatera Selatan serta membuka peluang investasi.
Keuntungan yang bisa didapat dengan adanya kawasan Pelabuhan Tanjung Api-api diantaranya diharapkan sebagai berikut :
1. Kegiatan perekonomian semakin meningkat, arus keluar masuk pemasaran sumberdaya alam Sumatera Selatan semakin besar kapasitasnya dan semakin luas jangkauannya.
2. Peningkatan pendapatan perkapita daerah dan penduduk.
3. Letak strategis yang dimiliki oleh Pelabuhan Tanjung Api-api pada jalur perdagangan internasioanl menjasikan pelabuhan ini menjadi salah satu pelabuhan laut dalam innternasioanal (International Deep Sea Port) yang dimiliki Indonesia, Sumatera Selatan khususnya. (Jarak anatara Pelabuhan Tanjung Api-api ke Singapura 450 KM; jarak Pelabuhan Tanjung Api-api ke Malaysia 750 KM; jarak Pelabuhan Tanjung Api-api Jakarta 480 KM) diharapkan nantinya pelabuhan ini ramai dikunjungi oleh akapl-kapal domestik maupun yang berbedera asing.
4. Kedalaman Sungai Banyuasin yang terbentuk alami antara 18-22 m, memungkinkan Pelabuhan Tanjung Api-api dapat disinggahi kapal-kapal berbobot 65.000 DWT (Dead Weight Tonage) atau bahkan lebih.
5. Letak kawasan Pelabuhan Tanjung Api-api berdekatan dengan wilayah industri seluas 12.300 Ha, memudahkan akses kegiatan perekonomian di kawasan tersebut.
6. Penyerapan tenaga kerja lokal yang akan banyak dibutuhkan di kawasan Pelabuhan Tanjung Api-api.
7. Fasilitas penunjang yang lengkap seperti saluran gas, saluran telepon, kabel serat optik, dan lainnya dalam satu Box Culvert didalam tanah, sarana air bersih, pengolahan limbah, rel kereta api jalur double (Double track), jalan raya kelas I, pembangkit tenaga listrik, dan lain sebagainya.
8. Penataan kawasan yang asri mengacu kepada konsep penataan yang berwawasan lingkungan, tetap mempertahankan Kawasan Hutan Lindung dan Kawasan Hijau sebagai paru-paru kawasan.
9. Memperlancar arus angkutan dari Sumatera menuju pulau Jawa dan sebaliknya yang dapat menguntungkan dari segi ekonomis, berupa penghematan BBM bagi kendaraan yang berasal dari wilayah sumatera lainnya menuju pelabuhan Merak di Jakarta yang selama ini selalu melewati pelabhan Bauheni di Lampung, mengurangi jarak tempuh kendaraan danmengurangi bebean jalan lintas timur (jarak Palembang – Bakauheni lebih kurang 600 KM), selain daripada itu dapoat mengurangi waktu tempuh, keausan ban kendaraan dan lain-lain.[1]
Alih fungsi lahan hutan Tanjung Api-api menurut menteri Kehutanan, M.S. Kaban, sudah sesuai dengan prosedur. Alasannya karena berdasarkan UU Kehutanan No 41 Tahun 1999 pemerintah memiliki kewenangan untuk menentukan status apakah lahan itu merupakan hutan lindung, konservasi, atau produksi. Kewenangan pemerintah itu juga meliputi pengalihan status hutan-hutan tersebut.[2]
Dalam proses pengalihan status lahan hutan lindung menjadi kawasan industri setidaknya harus melalui 18 tahapan yang diantaranya harus ada penilaian dari tim terpadu yang meneliti kawasan itu, biasanya melibatkan Kementerian Kehutanan, LIPI, Kementerian Negara Lingkungan Hidup, Lembaga Akademis, Departemen Kehutanan setempat dan pihak lainnya, kemudian tahap selanjutnya adanya persetujuan DPR, dan ada lahan pengganti minimal dua kali dari luas lahan yang dialihfungsikan. Untuk alih fungsi Hutan lindung Tanjung Api-api sudah ada lahan penggantinya seluas 1.200 Ha yang ditujukan untuk memperluas kawasan Taman Nasional Sembilang.
Rekomendasi Tim Terpadu ini juga disertai sejumlah syarat yang harus diperhatikan pemerintah setempat. Misalnya, pembangunan sarana perkantoran dan prasarana pemerintahan lainnya serta Jalan Lintas Barat, dilaksanakan dengan tidak menimbulkan gangguan terhadap aliran air/saluran drainase yang telah ada, meminimalkan cut and fill, membuat jalur hijau dan saluran drainase di kiri dan kanan jalan dengan memperhitungkan kapasitas tampung sesuai dengan volume air yang masuk ke dalam saluran drainase, memperhatikan rekomendasi analisis dampak lingkungan, apabila terdapat vegetasi mangrove yang terkena pembangunan diharuskan menanam mangrove di lokasi lain dengan luas yang sama. Untuk pembangunan pelabuhan di pantai, harus diperhatikan bahaya-bahaya pelayaran karena kedangkalan dan sempitnya alur di jalur tertentu, faktor sedimentasi, serta belum adanya Sarana Bantu Navigasi Pelayaran dan berbagai hal lain, termasuk perlunya ganti rugi terhadap hak-hak masyarakat. [3]
Dari hal diatas berarti perlu juga diketahui apabila hendak melakukan alih fungsi lahan hutan lindung dalam hal hal ini hutan mangrove Tanjung Api-api diperlukan adanya pertimbangan yang komprehensif termasuk akjian tata ruang dan lingkungan. Ada baiknya jika pemerintah mempertimbangkan keseriusan dalam prosedur alih fungsi yang benar. Yaitu alih fungsi dilakukan setelah dikeluarkannya peretujuan, walaupun faktanya banyak alih fungsi dilakukan sebelum peretujuan DPR. Hal ini pulalah kiranya yang menyebabkan mencuatnya kasus Tanjung Api-api ke permukaaan karena disinyalir adanya permainan di DPR yang menyebabkan pelaksanaan alih fungsi telah dilakukan sebelum dikeluarkannya persetujuan dari DPR atau dengan kata lain adanya alasan grativikasi. Namun beredar sumber yang menyatakan bahwa untuk meluluskan alih fungsi hutan mangrove, disebar berlembar-lembar travellers cheque ke komisi IV. Nilainya antara 25 juta samapai 35 juta rupiah perlembar. Total yang digelontorkan adalah lebih kurang sepuluh miliar.[4]
Terlepas dari pro kontra perizinan dan penyelewengan wewenang tersebut diatas Pembangunan pelabuhan Tanjung Siapi-api ternyata pada Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) masih meninggalkan permasalahan. Seperti dampak terhadap Taman Nasional Sembilang karena masih menyisakan kematian dan keanekaragaman hayati didalamnya.
Sri Lestari, selaku ketua Walhi, Sumsel mengemukakan pengerukan yang dilakukan berdampak terhadap daerah istirahat dan mencari makan bagi burung-burung air, mulai dari sungai Borang hingga Muara Sungai Sembilang. Juga daerah Tanjung Carat, Muara Sungai solok. Selain itu perubahan tersebut berakibat menurunnya kualitas perairan disekitar lokasi pembangunan dan hilangnya berbagai plasma nutfah yang menjadi makanan burung. Pencemaran daerah perairan akan meningkat seiring mneingkatkatnya lalu lintas kapal. Semua ini akan berdampak buruk bagi kehidupan liar di semenanjung Banyuasin. "Pemerintah tidak pernah memberikan solusi atas permasalahan tersebut dan faktanya pembangunan masih jalan," tegas Sri.(Dewi Handayani).[5]
Diduga Pencemaran lingkungan oleh pabrik memberi kontribusi sekitar 30 persen dari total kerusakan lingkungan. Pabrik-pabrik tersebut telah melanggar Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, terutama ketiadaan Analisis mengenai dampak lingkungan hidup (Amdal). Sedangkan analisis mengenai dampak lingkungan hidup sendiri adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha atau kegiatan.
Untuk mempertegas pelaksanaan sanksi, telah ada UU Persampahan yang baru disahkan. "Dengan adanya UU Persampahan maka saya punya senjata jika ada yang mengadu soal sampah. Sanksinya bisa pidana, penjara dan denda mencapai miliaran. (sumber : Rachmat Witoelar).[6]
Selain itu guna mendukung alih fungsi dapat sesuai peruntukkannya sebenarnya telah dibatasi oleh UU No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang mengatur beberapa ketentuan yang terdiri atas perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Dalam UU tersebut juga dinyatakan ruang terbagi habis antara kawasan lindung dan kawasan budi daya. Sedangkan secara fungsional ruang terdiri atas kawasan perkotaan, pedesaan, dan kawasan tertentu.
Meskipun telah ada UU Penataan Ruang, namun pada kenyataan di lapangan masih terdapat kelemahan dalam memanfaatkan alih fungsi lahan. Masih lemahnya pengendalian pemanfaatan ruang dalam penerapan sanksi terhadap pemanfaatan ruang yang menyebabkan bencana seperti banjir, tanah longsor, kebakaran hutan, dan pencemaran lingkungan.
Salah satu penyebabnya adalah tidak konsistennya antara kondisi eksisting pemanfaatan ruang dengan penetapan kawasan terutama pada kawasan-kawasan yang berfungsi lindung dan masih terdapatnya perbedaan pemahaman nomenklatur di bidang kehutanan.
Meskipun telah ada UU Penataan Ruang namun kerap kali terjadi timbul konflik antara kebijakan Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah, Kabupaten/Kota dalam hal perizinan. Ia menilai konflik tersebut timbul akibat tumpang tindih kepentingan sektor. Ia mencontohkan seperti yang terjadi pada sektor pertambangan. Pemanfaatan ruang khususnya di sektor pertambangan sehingga menyebabkan ketidakpastian hukum harus segera di cari solusinya dan segera diatur dalam bentuk peraturan perundangan sehingga ada kejelasan dalam pelaksanaan pengaturannya.
Dalam penataan ruang,posisi kawasan hutan bisa terdapat dalam kawasan budi daya dan bisa pula dalam kawasan lindung. Kawasan hutan yang masuk dalam kawasan budi daya adalah hutan-hutan produksi, baik itu hutan alam maupun hutan tanaman, termasuk hutan rakyat. "Kawasan hutan yang masuk dalam kawasan hutan lindung adalah hutan lindung yang bisa terdiri dalam beberapa jenis hutan seperti taman nasional, suaka marga satwa, cagar alam hutan pendidikan dan lain-lain
Menurut Azwar Chesputara selama ini dalam penataan ruang,luas kawasan hutan seakan-akan statis karena dikaitkan masalah kewenangan sektor kehutanan, tidak peduli apakah hutan tersebut bervegetasi atau tidak. Luas hutan di tetapkan dalam sistem dinamis yang mengaitkan fungsi hutan yang multi fungsi dengan sub system biogeofisik, sub sistem ekonomi dan sub sistem sosial, budaya dan kependudukan bahkan pertahanan keamanan.
"Dengan demikian dapat ditentukan luas hutan minimum yang harus ada di suatu wilayah yang dapat menjamin keberlanjutan proses pembangunan dalam arti mampu meminimalisir kemungkinan bencana yang muncul," jelas Azwar.

Azwar menilai pelestarian lingkungan dan mitigasi bencana dapat dilakukan antara lain dengan meningkatkan keterlibatan dunia internasional dalam pengelolaan kawasan hutan untuk mendukung pembangunan yang berkelanjutan terutama dalam mendukung upaya pencegahan pemanasan global dan perubahan iklim. "Mengembangkan hutan tanaman rakyat dan hutan kemasyarakatan untuk mengatasi deforestasi serta mempertimbangkan daya dukung lingkungan dan kemampuan wilayah dalam pemekaran wilayah provinsi dan kabupaten/kota,"[7]




















DAFTAR PUSTAKA



[1] Tanjung Api-api, Badan Pengelola dan Pengembangan Kawasan Pelabuhan Tanjung Api-api, Palembang, 2008
[1] Sumber : Danang Widoyoko – Indnesian Corruption Watc (ICW), dalam acara diskusi dialketika demokrasi oleh DPR RI Jakarta, 16 Mei 2008.
[1] Http;/korantempo.com, DPR jadi Tukang Stempel Dephut, diakses tanggal 26 Mei 2008.
[1] Republika, Alih fungsi hutan sesuai prosedur, 17 Mei 2008.
[1] http://www.sripo-online.com, Amdal TAA Buruk, diakses tanggal 26 Mei 2008.
[1] http://jurnalnasional.com, Menteri Negara Lingkungan Hdup siap Gugat 70 pabrim pencemar Lingkungan, diakses tanggal 26 Mei 2008.

[1] http://www.dpr.go.id/majalahparlementaria, Alih Fungsi Lahan Harus Dikaji Dengan Cermat, diakses tanggal 26 Mei 2008.





[1] Tanjung Api-api, Badan Pengelola dan Pengembangan Kawasan Pelabuhan Tanjung Api-api, Palembang, 2008
[2] Sumber : Danang Widoyoko – Indnesian Corruption Watc (ICW), dalam acara diskusi dialketika demokrasi oleh DPR RI Jakarta, 16 Mei 2008.
[3] Http;/korantempo.com, DPR jadi Tukang Stempel Dephut, diakses tanggal 26 Mei 2008.
[4] Republika, Alih fungsi hutan sesuai prosedur, 17 Mei 2008.
[5] http://www.sripo-online.com, Amdal TAA Buruk, diakses tanggal 26 Mei 2008.
[6] http://jurnalnasional.com, Menteri Negara Lingkungan Hdup siap Gugat 70 pabrim pencemar Lingkungan, diakses tanggal 26 Mei 2008.

[7] http://www.dpr.go.id/majalahparlementaria, Alih Fungsi Lahan Harus Dikaji Dengan Cermat, diakses tanggal 26 Mei 2008.

Tidak ada komentar:

Wise Word

The Knowledgement Can Satisfy Your Need But Not Your Greed