17 November 2008

ANALISA PUTUSAN

ANALISA PUTUSAN
Nomor : 08/Pailit/1998/PN.Niaga/Jkt Pst
Jo. Nomor: 05/PKPU/1998/PN.Niaga/Jkt.Pst



Putusan nomor Nomor : 08/Pailit/1998/PN.Niaga/Jkt Pst merupakan putusan yang dikeluarkan karena adanya perdamaian oleh para pihak yaitu Jimmy Lie sebagai pemohon PKPU dengan Kreditor sebagai penggugat pailit. Hakim dalam memutuskan perkara menimbang bahwa proses pemeriksaan PKPU menjadi gugur dengan dicabutnya gugatan pailit oleh kreditor dan PKPU oleh debitor meskipun diluar prosedur PKPU. Untuk itu Pengadilan Niaga memutuskan meskipun gugatan telah gugur dan dicabut, tetapi biaya yang ditimbulkan dan imbalan-imbalan jasa dalam proses permohonan PKPU yang telah dilaksanakan oleh Tim pemeriksa dan pengurus harus menjadi tanggungan pihak debitor tetapi hanya bagi sekretaris pengurus. Perdamaian antara debitor dan kreditor tlah diatur dalam UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Bagian Keenam mengenai Perdamaian. Hak mengajukan perdamaian oleh Debitor pailit kepada semua kreditor telah diatur dalam pasal 144. Mengenai imbalan jasa bagi pemeriksa dan pengurus telah diatur dalam pasal 4 Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.09-HT.05.10-tahun 1998 Tentang Pedoman Besarnya Imbalan Jasa Bagi Kurator dan Pengurus yang menentukan bahwa : Imbalan jasa bagi pengurus sebagaimana dimaksud dalam paasal 1 angka 3 ditentukan sebagai berikut :
a. Dalam hal penundaan kewajiban pembayaran utang yang berakhir dengan perdamaian, besarnya imbalan jasa ditentukan oleh hakim dan dibebankan kepada debitur dengan mempertimbangkan pekerjaan yang telah dilakukan, kemampuan, dan tarif kerja dari pengurus yang bersangkutan dengan ketentuan paling tinggi 3 % (tiga persen) dari nilai harta debitur;atau
b. Dalam hal penundaan kewajiban pembayaran utang berakhir tanpa perdamaian, besarnya imbalan ditentukan oleh hakim dan dibebankan kepada debitur dengan mempertimbangkan pekerjaan yang telah dilakukan, kemampuan, dan tarif kerja dari pengurus yang bersangkutan dengan ketentuan paling tinggi 5 % (lima persen) dari nilai harta debitur.



---------















Idil Victor
20072005029

DASAR HUKUM PERJANJIAN STANDAR/KONTRAK BAKU MENGENYAMPINGKAN ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK

DASAR HUKUM PERJANJIAN STANDAR/KONTRAK BAKU MENGENYAMPINGKAN ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK

(Ditinjau dari Aspek Keabsahan Hukum Pemberlakuan Perjanjian Standar)

BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Upaya manusia untuk memenuhi berbagai kepentingan bisnis, diantaranya adalah mewujudkannya dalam bentuk kontrak bisnis. Dalam bisnis, kontrak merupakan bentuk perjanjian yang dibuat secara tertulis yang didasarkan kepada kebutuhan bisnis. Kontrak atau contracts (dalam bahasa Inggris) dan overeenskomst (dalam Bahasa Belanda) dalam pengertian yang lebih luas kontrak sering dinamakan juga dengan istilah perjanjian.[1]
Istilah “kontrak” atau “perjanjian” dalam sistem hukum nasional memiliki pengertian yang sama, seperti halnya di Belanda tidak dibedakan antara pengertian “contract” dan “overeenkomst”.[2] Kontrak adalah suatu perjanjian (tertulis) antara dua atau lebih orang (pihak) yang menciptakan hak dan kewajiban untuk melakukan atau tidak melakukan hal tertentu.[3]
Dalam hukum kontrak sendiri terdapat asas yang dinamakan kebebasan berkontrak. Menurut Pasal 1338 Ayat (1) KUH Perdata menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Dari bunyi pasal tersebut sangat jelas terkandung asas :
a. Konsensualisme, adalah perjanjian itu telah terjadi jika telah ada konsensus antara pihak-pihak yang mengadakan kontrak;
b. Kebebasan berkontrak, artinya seseorang bebas untuk mengadakan perjanjian, bebas mengenai apa yang diperjanjikan, bebas pula menentukan bentuk kontraknya;
c. Pacta Sun Servanda, artinya kontrak itu merupakan Undang-undang bagi para pihak yang membuatnya (mengikat).[4]
Asas kebebasan berkontrak adalah refleksi dari perkembangan paham pasar bebas yang dipelopori oleh Adam Smith. Dalam perkembangannya ternyata kebebasan berkontrak dapat mendatangkan ketidakadilan karena prinsip ini hanya dapat mencapai tujuannya, yaitu mendatangkan kesejahteraan seoptimal mungkin, bila para pihak memiliki bargaining power yang seimbang. [5]
Communis opinio doctorum selama ini dengan bertitik tolak pada pasal 1313 KUH Perdata menyatakan bahwa “perjanjian adalah suatu perbuatan hukum yang berisi dua” (“een tweezijdige rechtshandeling”) untuk menimbulkan persesuaian kehendak guna melahirkan akibat hukum. Yang dimaksud dengan satu perbuatan hukum yang berisi dua ialah penawaran (aanbod/offer) dan penerimaan (aanvaarding acceptance). Penawaran dan penerimaan itu masing-masing pada hakekatnya adalah perbuatan hukum. Sedangkan yang dimaksud dengan perbuatan hukum adalah perbuatan subyek hukum yang didasarkan pada kehendak yang dinyatakan untuk menimbulkan akibat hukum yang dikehendaki dan diakui oleh hukum. Berarti masing-masing pihak seyogyanya mempunyai kebebasan kehendak. Itulah sebabnya Buku III KUH Perdata dikatakan menganut sistem terbuka dan didasarkan pada asas kebebasan berkontrak.[6]
Tetapi kebebasan kehendak tersebut dalam kenyataanya seringkali didapati salah satu pihak yang menentukan syarat didalam suatu kontrak, sedangkan pihak lain hanya dapat menerima atau menolak (misalnya dalam kontrak standar: syarat umum dari bank, syarat penyerahan dari produsen, dan sebagainya). Tidak dipungkiri bahwa kegiatan bisnis tersebut menjadi latar belakang tumbuhnya perjanjian baku. Menurut Gras dan Pitlo, latar belakang lahirnya perjanjian baku antara lain merupakan akibat dari perubahan susunan masyarakat. Masyarakat sekarang bukan lagi merupakan kumpulan individu seperti pada abad XIX, tetapi merupakan kumpulan dari sejumlah ikatan kerja sama (organisasi).[7]. Perjanjian baku lazimnya dibuat oleh organisasi-organisasi poerusahaan. Hal inilah yang membuat perjanjian baku sering telah distandarisasi isinya oleh pihak-pihak ekonomi kuat, sedangkan pihak lainnya hanya diminta untuk menerima atau menolak isinya. Apabila debitur menerima isinya pernjanjian tersebut, ia menandatangani perjanjian tersebut, tetapi apabila ia menolak, perjanjian itu sianggap tidak ada karena debitur tidak menandatangani perjanjian itu. Disinilah letak kontradiksi antara asas kebebasan berkontrak dengan pemberlakuan pelaksanaan perjanjian baku.
Untuk itulah perlu adanya penelitian dan pemahaman terhadap hukum kontrak yang meninjau dasar hukum pemberlakuan perjanjian baku/standard contract dengan mengenyampingkan asas kebebasan berkontrak.

2. Permasalahan
Dari uraian latar belakang diatas dapat dirumuskan permasalahan yaitu apa yang menjadi dasar berlakunya perjanjian baku/standar kontrak ditinjau dari sudut pengenyampingan asas kebebsan berkontrak.

3. Metode Penelitian
Dalam penulisan makalah ini metode yang digunakan adalah metode analisis deskriptif, dimana dipaparkan mengenai dasar hukum pemberlakuan perjanjian baku dengan mengenyampingkan asas kebebasan berkontrak.
BAB II
PEMBAHASAN

Istilah perjanjian baku berasal dari terjemahan dari bahasa Inggris, yaitu standard contract. Standar kontrak merupakan perjanjian yang telah ditentukan dan dituangkan dalam bentuk formulir. Kontrak ini telah ditentukan secara sepihak oleh salah satu pihak, terutama pihak ekonomi kuat terhadap ekonomi lemah. Kontrak baku menurut Munir Fuadi adalah :[8] Suatu kontrak tertulis yang dibuat oleh hanya salah satu pihak dalam kontrak tersebut, bahkan seringkali tersebut sudah tercetak (boilerplate) dalam bentuk-bentuk formulir tertentu oleh salah satu pihak, yang dalam hal ini ketika kontrak tersebut ditandatangani umumnya para pihak hanya mengisikan data-data informatif tertentu saja dengan sedikit atau tanpa perubahan dalam klausul-klausulnya dimana para pihak lain dalam kontrak tersebut tidak mempunyai kesempatan atau hanya sedikit kesempatan untuk menegosiasi atau mengubah klausul-kalusul yang sudah dibuat oleh salah satu pihak tersebut, sehingga biasanya kontrak baku sangat berat sebelah.[9] Sedangkan menurut Pareto, suatu transaksi atau aturan adalah sah jika membuat keadaan seseorang menjadi lebih baik dengan tidak seorangpun dibuat menjadi lebih buruk, sedangkan menurut ukuran Kaldor-Hicks, suatu transaksi atau aturan sah itu adalah efisien jika memberikan akibat bagi suatu keuntungan sosial. Maksudnya adalah membuat keadan seseorang menjadi lebih baik atau mengganti kerugian dalam keadaan yang memeprburuk.[10]
Menurut Treitel, “freedom of contract” digunakan untuk merujuk kepada dua asas umum (general principle). Asas umum yang pertama mengemukakan bahwa “hukum tidak membatasi syarat-syarat yang boleh diperjanjikan oleh para pihak: asas tersebut tidak membebaskan berlakunya syarat-syarat suatu perjanjian hanya karena syarat-syarat perjanjian tersebut kejam atau tidak adil bagi satu pihak. Jadi ruang lingkup asas kebebasan berkontrak meliputi kebebasan para pihak untuk menentukan sendiri isi perjanjian yang ingin mereka buat, dan yang kedua bahwa pada umumnya seseorang menurut hukum tidak dapat dipaksa untuk memasuki suatu perjnjian. Intinya adalah bahwa kebebasan berkontrak meliputi kebebasan bagi para pihak untuk menentukan dengan siapa dia ingin atau tidak ingin membuat perjanjian.[11] Tanpa sepakat dari salah satu pihak yang membuat perjanjian, maka perjanjian yang dibuat tidak sah. Orang tidak dapat dipaksa untuk memberikan sepakatnya. Sepakat yang diberikan dengan dipaksa adalah contradictio in terminis. Adanya paksaan menunjukkan tidak adanya sepakat. Yang mungkin dilakukan oleh pihak lain adalah untuk memberikan pihak kepadanya, yaitu untuk setuju mengikatkan diri pada perjanjian yang dimaksud atau menolak mengikatkan diri pada perjanjian yang dimaksud. Dengan akibat transasksi yang diinginkan tidak dapat dilangsungkan. Inilah yang terjadi dengan berlakunya perjanjian baku di dunia bisnis pada saat ini.[12]
Namun kebebasan berkontrak diatas tidak dapat berlaku mutlak tanpa batas. Artinya kebebasan berkontrak tidak tak terbatas.
Dalam melihat pembatasan kebebasan berkontrak terhadap kebolehan pelaksanaan kontrak baku terdapat dua pendapat yang dikemukaan oleh Treitel yaitu terdapat dua pembatasan. Yang pertama adalah pembatasan yang dilakukan untuk menekan penyalahgunaan yang disebabkan oleh karena berlakunya asas kebebasan berkontrak. Misalnya diberlakukannya exemption clauses (kalusul eksemsi) dalam perjanjian-perjanjian baku. Yang kedua pembatasan kebebasan berkontrak karena alasan demi kepentingan umum (public interest).[13]
Dari keterangan diatas dapat di ketahui bahwa tidak ada kebebasan berkontrak yang mutlak. Pemerintah dapat mengatur atau melarang suatu kontrak yang dapat berakibat buruk terhadap atau merugikan kepentingan masyarakat. Pembatasan-pembatasan terhadap asas kebebasan berkontrak yang selama ini dikenal dan diakui oleh hukum kontrak sebagaimana telah diterangkan diatas ternyata telah bertambah dengan pembatasan-pembatasan baru yang sebelumnya tidak dikenal oleh hukum perjanjian yaitu pembatasan-pembatasan yang datangnya dari pihak pengadilan dalam rangka pelaksanaan fungsinya selaku pembuat hukum, dari pihak pembuat peraturan perundang-undangan (legislature) terutama dari pihak pemerintah, dan dari diperkenalkan dan diberlakukannya perjanjian adhesi atau perjanjian baku yang timbul dari kebutuhan bisnis.[14]
Di Indonesia kita ketahui pula ada dijumpai tindakan negara yang merupakan campur tangan terhadap isi perjanjian yang dibuat oleh para pihak. Sebagai contoh yang paling dikenal adalah yang menyangkut hubungan antara buruh dan majikan/pengusaha.
Tetapi tidak semua tingkat peraturan perundang-undangan dapat membatasi asas kebebasn berkontrak, namun hanya UU atau Perpu atau peraturan perundan-undagan yang lebih tinggi saja yang memepunyai kekuatan hukum untuk emmbatsai bekerjanya asas kebebasan berkontrak.
Bila dikaitkan dengan peraturan yang dikeluarkan yang berkaitan dengan kontrak baku atau perjanjian standar yang merupakan pembolehan terhadap praktek kontrak baku, maka terdapat landasan hukum dari berlakunya perjanjian baku yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia, yaitu :
1. Pasal 6.5. 1.2. dan Pasal 6.5.1.3. NBW Belanda
Isi ketentuan itu adalah sebagai berikut :
Bidang-bidang usaha untuk mana aturan baku diperlukan ditentukan dengan peraturan.
Aturan baku dapat ditetapkan, diubah dan dicabut jika disetujui oleh Menteri kehakiman, melalui sebuah panitian yasng ditentukan untuk itu. Cara menyusun dan cara bekerja panitia diatur dengan Undang-undang.
Penetapan, perubahan, dan pencabutan aturan baku hanya mempunyai kekuatan, setelah ada persetujuan raja dan keputusan raja mengenai hal itu dalam Berita Negara.
Seseorang yang menandatangani atau dengan cara lain mengetahui isi janji baku atau menerima penunjukkan terhadap syarat umum, terikat kepada janji itu.
Janji baku dapat dibatalkan, jika pihak kreditoir mengetahui atau seharunya mengetahui pihak kreditur tidak akan menerima perjanjian baku itu jika ia mengetahui isinya.
2. Pasal 2.19 sampai dengan pasal 2.22 prinsip UNIDROIT (Principles of International Comercial Contract).
Prinsip UNIDROIT merupakan prinsip hukum yang mengatur hak dan kewajiban para pihak pada saat mereka menerapkan prinsip kebebasan berkontrak karena prinsip kebebasan berkontrak jika tidak diatur bisa membahayakan pihak yang lemah. Pasal 2.19 Prinsip UNIDROIT menentukan sebagai berikut :
Apabila salah satu pihak atau kedua belah pihak menggunakan syarat-syarat baku, maka berlaku aturan-aturan umum tentang pembentukan kontrak dengan tunduk pada pasal 2.20 – pasal 2.22.
Syarat-syarat baku merupakan aturan yang telah dipersiapkan terlebih dahulu untuk digunakan secara umum dan berulang-ulang oleh salah satu pihak dan secara nyata digunakan tanpa negosiasi dengan pihak lainnya.

Ketentuan ini mengatur tentang :
a. Tunduknya salah satu pihak terhadap kontrak baku
b. Pengertian kontrak baku.
3. Pasal 2.20 Prinsip UNIDROIT menentukan sebagai berikut :
Suatu persyaratan dalam persyaratan-persyaratan standar yang tidak dapat secara layak diharapkan oleh suatu pihak, dinyatakan tidak berlaku kecuali pihak tersebut secara tegas menerimanya.
Untuk menentukan apakah suatu persyaratan memenuhi ciri seperti tersebut diatas akan bergantung pada isi bahasa, dan penyajiannya.
4. Pasal 2.21 berbunyi :dalam hal timbul suatu pertentangan antara persyaratan-persyaratan standar dan tidak standar, persyaratan yang disebut terakhir dinyatakan berlaku.
5. Pasal 2.22
Jika kedua belah pihak menggunakan persyaratan-persyaratan standar dan mencapai kesepakatan, kecuali untuk beberapa persyaratan tertentu, suatu kontrak disimpulkan berdasarkan perjanjian-perjanjian yang telah disepakati dan persyaratan-persyaratan standar yang memiliki kesamaan dalam substansi, kecuali suatu pihak sebelumnya telah menyatakan jelas atau kemudian tanpa penundaan untuk memberitahukannya kepada pihak lain, bahwa hal tersebut tidak dimaksudkan untuk terikat dengan kontrak tersebut.
6. UU No 10 Tahun 1988 tentang Perubahan UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
7. UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
Dengan telah dikeluarkannya peraturan-peraturan tersebut diatas menunjukkan bahwa pada intinya kontrak baku merupakan jenis kontrak yang diperbolehkan dan dibenarkan untuk dilaksanakan oleh kedua belah pihak karena pada dasarnya dasar hukum pelaksanaan kontrak baku dibuat untuk melindungi pelaksanaan asas kebebasan berkontrak yang berlebihan dan untuk kepentingan umum sehingga perjanjian kontrak baku berlaku dan mengikat kedua belah pihak yang membuatnya.




---------------------


BAB IV
KESIMPULAN

Dalam melihat dasar hukum pemberlakuan kontrak baku dalam kaitannya dengan kebebasan berkontrak terhadap kebolehan pelaksanaan kontrak baku terdapat dua pendapat yang dikemukaan oleh Treitel yaitu terdapat dua pembatasan. Yang pertama adalah pembatasan yang dilakukan untuk menekan penyalahgunaan yang disebabkan oleh karena berlakunya asas kebebasan berkontrak. Misalnya diberlakukannya exemption clauses (kalusul eksemsi) dalam perjanjian-perjanjian baku. Yang kedua pembatasan kebebasan berkontrak karena alasan demi kepentingan umum (public interest). Hal ini berarti kontrak baku yang dibuat oleh para pihak adalah sah dan mengikat kedua belah pihak. Selain itu dengan dikeluarkannya beberapa peraturan oleh pemerintah Indoensia yang mengatur menegani kontrak baku, maka kontrak baku diperbolehkan untuk dilaksanakan dengan mengenyampingkan asas kebebasan berkontrak.



DAFTAR PUSTAKA

Gunawan, Johannes dkk, Tanpa Tahun, Beberapa hal Tentang Itikad Baik dan TanggungJawab Hukum, Bandung, Pusat Studi Hukum Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan.

Ibrahim, Johannes, 2004, Hukum Bisnis Dalam Persepsi Dunia Modern, Jakarta, PT Refika Aditama.

Salim, 2007, Perkembangan Hukum Kontrak diluar KUH Perdata, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada.

Saliman, Abdul R & dkk, 2004, Esensi Hukum Bisnis Indonesia, Jakarta, Kencana.

Subekti, R, 1984, Hukum Perjanjian, Jakarta, Intermasa.

Syahdeni, Sutan Remi, Tanpa Tahun, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia, Jakarta, Institut Bankir Indonesia.


[1] Saliman, Abdul R & dkk, 2004, Esensi Hukum Bisnis Indonesia, Jakarta, Kencana, Hal. 12.
[2] Ibrahim, Johannes, 2004, Hukum Bisnis Dalam Persepsi Dunia Modern, Jakarta, PT Refika Aditama, Hal. 43.
[3] Subekti, R, 1984, Hukum Perjanjian, Jakarta, Intermasa, Hal. 1.
[4] Op. cit. Hal. 13.
[5] Syahdeni, Sutan Remi, Tanpa Tahun, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia, Jakarta, Institut Bankir Indonesia. Hal. 17.
[6] Gunawan, Johannes dkk, Tanpa Tahun, Beberapa hal Tentang Itikad Baik dan TanggungJawab Hukum, Bandung, Pusat Studi Hukum Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Hal. 13.
[7] Salim, 2007, Perkembangan Hukum Kontrak diluar KUH Perdata, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, Hal. 148.
[8] Ibid, Hal. 148

[10] Op. cit. hal 46
[11] Syahdeni, Sutan Remy, Op. cit. Hal. 39.
[12] Ibid. Hal. 46
[13] Ibid. Hal. 61
[14] Ibid. Hal. 59

ASPEK PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEMEGANG SAHAM MINORITAS DALAM KERANGKA UU NO 40 TAHUN 2007

Oleh :
IDIL VICTOR


Dewasa ini Prinsip Good Corporate Governance merupakan prinsip yang mutlak dimiliki oleh setiap perusahaan agar tetap eksis. Penerapan prinsip-prinsip good corporate governance yaitu fairness, transparency, accountability dan responsibility merupakan upaya agar terciptanya keseimbangan antar kepentingan dari para stakeholder yaitu pemegang saham mayoritas, pemegang saham minoritas, kreditor, manajemen perusahaan, karyawan perusahaan, suppliers, pemerintah, konsumen dan tentunya para anggota masyarakat yang merupakan indikator tercapainya keseimbangan kepentingan, sehingga benturan kepentingan yang terjadi dapat diarahkan dan dikontrol serta tidak menimbulkan kerugian bagi masingmasing pihak. Pemegang saham yang memiliki control sebenarnya memiliki insentif secara lebih dekat untuk memonitor perusahaan serta manajemen yang memberikan pengaruh positif bagi corporate governance. Sebaliknya, pemegang saham pengendali juga berpotensi untuk berkonflik dengan pemegang saham lain, khususnya pemegang saham minoritas.
Sejak lahirnya UU Nomor 40 Tahun 2007 terdapat pengaturan yang lebih pasti terhadap kedudukan pemegang saham minoritas. Dalam Pasal 84 ayat 1 disebutkan bahwa setiap saham yang dikeluarkan mempunyai satu hak suara, kecuali anggaran dasar menentukan lain. Dalam hal ini berlaku ketentuan one share one vote. Sistem ini telah mengubah ketentuan yang trdapat dalam Pasal 54 KUHD yang menyatakan sebaliknya.
Hal ini pula berarti bahwa UU Perseroan Terbatas tidak membatasi kekuataan pemegang saham dalam jumlah yang besar dalam perolehan hak suara yang didapat. Bagi pemegang saham minoritas yang mempunyai saham yang lebih sedikit maka pemegang saham hanya bertanggungjawab hanya sebatas setoran atas seluruh saham yang dimiliki dan tidak sampai bertanggungjawab sampai harta pribadi pemegang saham. Hal itu sesuai dengan bnunyi pasal 3 UU No 40 tahun 2007 yang menentukan bahwa pemegang saham perseroan tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama perseroan dan tidak bertanggung jawab atas kerugian perseroan melebihi saham yang dimiliki.
Mengenai pembelaan pemilik saham minoritas dari kesewenagan pemilik saham mayoritas juga terdapat suatu prinsip yang disebut prinsip perlekatan. Artinya terdapat perlekatan antara kepemilikan saham dengan hak suara. Sekalipun saham sudah beralih kepihak ketiga melalui lembaga penjaminan seperti misalnya gadai. Perjanjian tersebut dikenal denegn nama voting agreement yang merupakan voting persetujuan oleh pihak pemegang saham yang dilakukan didalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Dengan prinsip inilah kebebasan pemegang saham mayoritas dibatasi. Pemegang saham yang telah membuat suatu perjanjian hak suara dapat mengeluarkan suaranya sesuai dengan kehendaknya. Dengan demikian kekuatan dapat dihimpun oleh pemegang-pemegang saham yang kecil-kecil atau minoritas sehingga dapat menyatukan suara.
Dengan prinsip one share one vote, terdapat upaya emmebrikan erhatian khusus oleh hukum untuk melindungi pihak pemegang saham minoritas. Perlindungan pemegangs saham minoritas dalam hal ini dilakukan denan memperkenalkan prinsip special vote, yang operasionalisasinya minimal dilakukan dengan dua cara sebagai berikut:
1. Prinsip Silent Majority
Dalam hal ini pemegang saham mayoritas diwajibkan absatain dalam voting. Salah satu sistem dari prinsip silent majority adalah system pemilihan berlapis, yang diperkenalkan oleh Keputusan Ketuan Bapepam No. Kep-01/PM/1993, tanggal 29 Januari 1993, yang telah diganti dengan Peraturan Bapepam No.04/PM/1994, tanggal 7 Januari 1994.
Prinsip pemilihan berlapis ini dioperasionalisasikan dengan cara pelaksanaan dua kali voting. Pada voting pertama hanya pemegang saham tidak berbenturan kepentingan pemegang saham minoritas yang boleh melakukan voting, sementara pemegang saham yang berbenturan kepentingan/pemegang saham minoritas menerima usulan yang bersangkutan, yaitu usulan untuk melakukan transaksi yang berbenturan kepentingan.
Contoh dari transaksi yang berbenturan kepentingan adalah apa yang popular dengan istilah akuisisi internal.
2. Prinsip Super Majority
Dalam hal ini voting dilakukan dalam RUPS mensyaratkan lebih dari sekedar simple majority (51%) untuk dapat memenagkan voting. Keputusan dari rapat tidak dapat diambil jika suara yang setuju kurang dari jumlah presentase tersebut. Dalam praktek, anggaran dasar Perseroan Terbatas yang standar pada umumnya memberlakukan prinsip super majority dalam hal-hal tertentu yang mungkin menjadi krusial bagi seluruh pemegang saham, termasuk minoritas.
UUPT memberlakukan prinsip super majority, baik terhadap hal-hal yang ditentukan sendiri dalam anggaran dasar perseroan, ataupun terhadap kegiatan-kegiatan yang ditentukan sendiri oleh undang-undnag, misalnya jika perseroan melakukan perubahan anggaran dasar, merger, akuisisi, konsolidasi, kepailitan, likuidasi atau pembelian kembali saham.
Dalam hal Perseroan merugikan pemegang saham minoroitas, maka setiap pemegang saham minoritas dapat berhak mengajukan gugatan terhadap perseroan apabila dirugikan karena tindakan Perseroan yang dianggap tidak adil dan tanpa alasan. Gugatan diajukan ke Pengadilan Negeri setempat. Hal tersebut dfiatur dalam pasal 61 UU PT.
Selain itu pemegang saham minorutas juga memiliki perlindungan dalam hal pembelian saham sebagaimana yang diatur dalam pasal 62 UU PT. Pemegang saham minoritas dapat menjual saham kepada Persero jika pemegang saham menilai Persero telah melakukan perbuatan yang merugikan.
Selanjutnya dalam hal pemenuhan Kuorum, UU No 40 tahun 1970 juga memberikan perlindungan bagi pemegang saham untuk menentukan besar angka kuorum yang harus dilaksanakan, melihat dari angka kuorum hak suara yang terpenuhi, bukan melihat jumlah kuorum pemegang saham yang terbanyak yang hadir dalam RUPS, sehingga terdapat hak kuorum minimal bagi pemegang saham khsusunya minoritas. Hal ini dapat diartikan juga bahwa keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak dan bukan berdasarkan banayaknya pemegang lembar saham.
Dalam hal terdapat upaya konsolidasi atas perusahaan, maka pemegang saham minoritas (biasanya pihak yang kalah ) dapat mengajukan appraisal rights. Yang dimaksud dengan appraisal rights adalah hak dari pemegang saham minoritas yang tidak setuju dengan merger atau tindakan korporat lainnya, untuk menjual saham yang dipegangnya itu kepada perusahaan yang bersangkutan, mana pihak perusahaan yang mengisukan saham tersebut wajib membeli kembali saham-sahamnya itu dengan harga yang pantas.
Pelaksanaan appraisal rights ini merupakan salah satu keistimewaan yang dibeikan oleh hukum kepada transaksi merger ini. Hal ini diatur dalam pasal Pasal 102 juncto 123 UUPT.



--------------­

TANGGUNG JAWAB PIHAK KETIGA

TANGGUNG JAWAB INVESTOR TERHADAP HUTANG CV
PADA PIHAK KETIGA

Oleh : Idil Victor


Badan usaha Perseroan Komanditer atau Commanditaire Venootschaaf (CV) adalah bentuk persekutuan yang didirikan oleh beberapa orang (sekutu) yang menyerahkan dan mempercayakan uangnya untuk dipakai dalam persekutuan. Para anggota persekutuan menyerahkan uangnya sebagai modal perseroan dengan jumlah yang tidak perlu sama sebagai tanda keikutsertaan di dalam persekutuan.
Sekutu pada persero dapat dikelompokkan menjadi :
1. Sekutu Komplementer yaitu sekutu aktif/orang yang bersedia memimpin pengaturan perusahaan dan bertanggung jawab penuh dengan kekayaan pribadinya sesuai pasal 18 KUHD.
2. Sekutu Komanditer yaitu sekutu pasif/orang yang tidak ikut mengurus persekutuan tapi mempercayakan uangnya dalam persekutuan dan bertanggung jawab hanya terbatas pada kekayaan yang diikut sertakan dalam perusahaan tersebut.
Persekutuan komanditer juga merupakan persekutuan yang terdiri atas beberapa orang yang berusaha dan beberapa orang yang hanya menyerahkan modal saja.
Adapun kebaikan dari mendirikan CV adalah sebagai berikut :
1. Pendirian relatif mudah
2. Modal/Kredit mudah didapat-
3. Kemampuan manajemen lebih baik dibanding bentuk usaha yang lain seperti Persekutuan Perdata dan Fa.
Selain itu CV juga memiliki kelemahan, yaitu :
1. Sebagian anggota memiliki tanggungjawab tidak terbatas
2. Dana yang sudah disetor sulit ditarik kembali
3. Kelangsungan hidup perusahaan sewaktu-waktu dapat terganggu.
Macam-macam keanggotaan dalam CV adalah :
1. Sekutu Pimpinan (General Partner) adalah anggota aktif serta turut memimpin perusahaan dan bertanggungjawab tidak terbatas terhadap utang perusahaan
2. Sekutu Terbatas (Limited Partner) adalah anggota yang bertanggungjawab terbatas pada utang perusahaan sebesar modal yang disetor dan tidak boleh aktif dalam perusahaan
3. Sekutu Diam (Silent Partner) adalah sekutu yang tidak aktif menjalankan perusahaan akan tetapi dikenal sebagai sekutu dalam CV tsb.
4. Sekutu Rahasia (Secret Parner) adalah sekutu yang aktif menjalankan perusahaan tetapi tidak diketahui oleh umum.
5. Sekutu Senior dan Yunior adalah keanggotaan yang didasarkan pada lamanya investasi atau bekerja pada CV.
6. Dormant (Sleeping Partner) adalah sekutu yang tidak aktif dan tidak dikenal umum sebagai sekutu dalam CV
Berakhirnya CV diatur dalam Pasal 31 KUHD yaitu:
1. Berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam Anggaran Dasar (Akta Pendirian).
2. CV berakhir sebelum jangka waktu yang ditetapkan, akibat pengunduran diri atau pemberhentian sekutu.
3. Akibat perubahan anggaran dasar (akta pendirian) di mana perubahan anggaran dasar ini mempengaruhi kepentingan pihak ketiga terhadap CV.
Mengernai tanggung jawab sekutu dalam CV tergantung dari siapa sekutunya. Untuk sekutu komplementer, tanggung jawabnya adalah pribadi untuk keseluruhan sedangkan sekutu komanditer tanggunjawabnya terbatas pada modal yang dimasukkannya dalam persekutuan.
Sedangkan jika CV dinyatakan pailit maka hanya sekutu komanditer yang dinyatakan pailit, sedangkan sekutu komanditer tidak dinyatakan pailit. Begitu juga dengan pihak penanam modal atau investor yang menanamkan modalnya dalam CV. Jika ia ambil bagian sebagai sekutu komanditer maka ia tidak bisa dinyatakan pailit dan tidak memiliki kewajiban untuk ikut bertanggungjawab terhadap pembayaran hutang kepada pihak ketiga karena tanggungjawabnya hanya terbatas pada modal yang disertakannya.

16 November 2008

PERSAINGAN USAHA

ANALISIS PUTUSAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA (KPPU)
NO. 07/KPPU-L/2007 TENTANG KASUS TEMASEK HOLDINGS Pte. Ltd.
TERHADAP PELANGGARAN UU NO 5 TAHUN 1999
TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI
DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT
(Ditinjau Dari Aspek Pembelaan Diri Temasek Terhadap Tuduhan KPPU)



I. Profile Kasus Temasek Holdings Pte. Ltd.

Pada kisaran bulan April Tahun 2007, terjadi sebuah kasus yang cukup memberikan pengaruh pada dunia telekomunikasi di Indonesia khususnya pengguna jasa telepon seluler. Sebuah perusahaan Holding Company berasal dari Singapura yaitu Temasek Holdings Pte. Ltd. yang mengelola dana investasi sebesar US$ 108 Miliar atau sekitar Seribu triliun rupiah diduga melakukan struktur kepemilikan silang atas saham dua perusahaan jasa seluler Indonesia yaitu Telkomsel dan Indosat. Dugaan tersebut telah berlangsung mulai dari tahun 2002 dan baru diangkat ke sidang Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) pada tahun 2006. Adapun pihak-pihak yang menjadi terlapor dalam kasus dugaan pelanggaran tersebut adalah :
1. Temasek Holdings Pte. Ltd.
2. Singapore Technologies Telemedia Pte. Ltd.
3. STT Communications Ltd.
4. Asia Mobile Holding Company Pte. Ltd.
5. Asia Mobile Holdings Pte. Ltd.
6. Indonesia Communications Limited.
7. Indonesia Communications Pte. Ltd.
8. Singapore Telecommunications Ltd.
9. Singapore Telecom Mobile Pte. Ltd.
10. PT. Telekomunikasi Selular.

II. Tuduhan Pelanggaran UU No 5 Tahun 1999 oleh Temasek Holdings Pte Ltd

Adapun dugaan pelanggaran yang dituduhkan oleh KPPU adalah sebagai berikut :
1. Temasek Holdings Pte. Ltd. memiliki saham mayoritas pada dua perusahaan yang melakukan kegiatan usaha dalam bidang yang sama pada pasar bersangkutan yang sama, sehingga melanggar pasal 27 huruf a UU No 5 Tahun 1999 yang menentukan bahwa :
Pelaku usaha dilarang memiliki saham mayoritas pada beberapa perusahaan sejenis yang melakukan kegiatan usaha dalam bidang yang sama pada pasar bersangkutan yang sama, atau mendirikan beberapa perusahaan yang memiliki kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan yang sama, apabila kepemilikan tersebut mengakibatkan:
a. satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.

2. PT Telekomunikasi Selular (selanjutnya disebut Telkomsel) mempertahankan tarif seluler yang tinggi, sehingga melanggar pasal 17 ayat (1) UU No 5 Tahun 1999 yang menentukan bahwa :
1) Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila:
a. Barang dan atau jasa yang bersangkutan belum ada substitusinya; atau
b. Mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan usaha barang dan atau jasa yang sama; atau
c. Satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
3. Telkomsel menyalahgunakan posisi dominannya untuk membatasi pasar dan pengembangan teknologi sehingga melanggar pasal 25 ayat (1) huruf b UU No 5 Tahun 1999 yang menentukan bahwa :
1) Pelaku usaha dilarang menggunakan posisi dominan baik secara langsung maupun tidak langsung untuk:
a. menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan tujuan untuk mencegah dan atau menghalangi konsumen memperoleh barang dan atau jasa yang bersaing, baik dari segi harga maupun kualitas; atau
b. membatasi pasar dan pengembangan teknologi; atau
c. menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk memasuki pasar bersangkutan.


Tuduhan Pertama : Kepemilikan Silang dan Saham Mayoritas

Bukti tuduhan terhadap Temasek dimuat dalam point ke 46 pada bagian dugaan pelanggaran dalam Putusan KPPU. Berdasarkan fakta yang diperoleh, Temasek melalui anak perusahaannya memiliki 35% saham dengan hak suara di Telkomsel, hak untuk menominasikan direksi dan komisaris, dan kewenangan untuk menentukan arah kebijakan perusahaan terutamadalam hal persetujuan anggaran melalui Capex Committee dan kemampuan untukmemveto putusan RUPS (negative control) dalam hal perubahan Anggaran Dasar, buy back saham perusahaan, penggabungan, peleburan, pengambilalihan,pembubaran dan likuidasi perusahaan.
Hal yang sama terjadi juga pada Indosat, Temasek memiliki sekitar 41,94% saham dengan hak suara di Indosat, hak untuk menominasikan direksi dan komisaris dan kewenangan untuk menentukan arah kebijakan perusahaan Indosat. Pemegang saham lainnya adalah Pemerintah RI sebesar 15% dan publik sebesar 43,06%. Saham publik diperdagangkan di pasar modal Indonesia dan Amerika Serikat yang berubah-ubah terus kepemilikannya dan secara keseluruhan hampir tidak mungkin untuk bertindak secara bersama-sama. Oleh karena itu Temasek merupakan pengendali aktif (positive control) di Indosat; pada akhir kesimpulannya bahwa KPPU menganggap Temasek melalui anak-anak perusahaannya memiliki kendali pada Telkomsel dan Indosat.
Dasar tuduhan kepada Temasek telah melakukan kepemilikan silang sehingga melanggar UU Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat adalah dengan adanya kepemilikan silang yang dituduhkan oleh KPPU atau masalah cross-ownership. Cross-ownership selain memiliki dampak langsung terhadap perubahan struktur kepemilikan suatu perusahaan juga akan memberikan dampak perubahan struktur industri dimana perusahaan itu berada. Untuk mengukur apakah cross-ownership yang sedang diteliti memberikan dampak buruk terhadap persaingan, otoritas kompetisi lazimnya memperhatikan perubahan tingkat konsentrasi industri sebelum dan sesudah cross-ownership terjadi. Apabila tingkat struktur industri setelah cross-ownership semakin terkonsentrasi maka hal tersebut memberikan indikasi bahwa cross-ownership yang dilakukan berdampak buruk terhadap persaingan.
Hal tersebut didasarkan bahwa peningkatan tingkat konsentrasi suatu industri dapat menjadi indikasi peningkatan market power pelaku usaha dalam industri tersebut. Peningkatan market power memberikan keleluasaan bagi pelaku usaha untuk menetapkan harga (price maker) Ada tidaknya penggunaan market power yang dimiliki oleh pelaku usaha, dapat diindikasikan dengan:
1. Tingginya harga jual produk;
2. Relatif dengan produk subsitusi;
3. Relatif dengan biaya produksi;
4. Tingginya margin keuntungan pelaku usaha di pasar bersangkutan;
Dampak akhir dari cross-ownership yang berdampak buruk terhadap persaingan adalah adanya nilai kerugian konsumen atau disebut consumer loss. Consumer loss muncul sebagai akibat dari tingginya harga jual produk dibandingkan dari yang seharusnya dapat dijangkau lebih murah atau kuantitas output di pasaran yang jumlahnya lebih rendah dari yang seharusnya konsumen dapatkan.
Pernyataan utama KPPU menentang terjadinya kepemilikan silang diatas adalah bahwa jika tidak terdapat kepemilikan silang di Indosat dan Telkomsel maka akan menimbulkan kompetisi yang lebih baik.

Tuduhan Kedua : Kepemimpinan Harga (Price leadership) oleh Telkomsel Sehingga Menyebabkan Pemasangan Tarif yang Tinggi

KPPU berpendapat bahwa kepemilikan silang Temasek terhadap Indosat dan Telkomsel telah berpengaruh negatif terhadap kondisi persaingan di pasar relevan. Sehubungan dengan hal ini, KPPU mengklaim sejumlah hal yang pada pokoknya sebagai berikut:
a. Klaim bahwa pasar relevan itu terkonsentrasi tinggi dan terus bertambah dalam beberapa waktu terakhir.
b. Variasi dari klaim mengenai kinerja keuangan Telkomsel yang baik.
c. Klaim bahwa kinerja Indosat tidak baik sejak akuisis saham oleh ICL/ICPL.
d. Klaim yang menyatakan bahwa Telkomsel telah menyebabkan buruknya kinerja Indosat.
e. Klaim bahwa pasar dikarakteristikan dengan dilakukannya price leadership oleh Telkomsel.
f. Klaim bahwa tarif Telkomsel itu berlebihan.
g. Klaim bahwa ketiadaan dugaan “kepemilikan silang”, maka situasi persaingan didalam pasar akan lebih baik.
Selanjutnya KPPU juga menganggap bahwa PT Telkomsel Seluler selaku anak perusahaan Temasek Holdings Pte Ltd telah melakukan praktek oligopoli dimana ada yang disebut dengan Kepemimpinan Harga (Price Leadership). Menurut KPPU, ketika suatu pelaku pasar memiliki posisi yang sangat dominan terhadap pasar secara relatif terhadap kompetitornya, pelaku pasar yang bersangkutan dapat, secara sepihak (unilateraly), menentukan harga pasar tanpa mengindahkan harga yang diberikan oleh kompetitornya. Pada industri yang bersifat oligopoly yang terdapat pemain dominan (dominant player) didalamnya, maka cross-ownership yang terjadi pada dominant player industri tersebut tidak hanya akan berdampak pada peningkatkan konsentrasi dominant player tersebut saja. Peningkatan konsentrasi tersebut memberikan ruang peningkatan market power.
Tingginya market power dominant player relatif terhadap para pesaingnya, memudahkan dominant player menentukan output dan harga tanpa terpengaruh keputusan pesaing. Keputusan dominant player untuk menetapkan tarif tinggi sebagai bentuk penggunaan market power secara optimum akan menjadi pelindung dan insentif bagi pesaing-pesaingnya untuk turut menikmati tarif tinggi. Fenomena tersebut adalah bentuk dari munculnya price leadership.
Kehadiran price leadership dalam suatu industri menyebabkan pilihan konsumen untuk menikmati harga yang lebih murah menjadi terhambat. Indikasi terjadinya price leadership adalah adanya pola perubahan tarif antar operator yang relatif seragam, tingginya harga produk, serta tingginya margin keuntungan antar pelaku usaha;
Alasan KPPU dalam membrikan anggapan demikian adalah bahwa :
a. Telkomsel memiliki :
(i) Pangsa pasar yang terbesar dalam pasar terkait sejak 2001;
(ii) Jaringan BTS yang paling luas; dan
(iii) Pendapatan rata-rata terbesar diantara Indosat, Excelcomindo dan
Telkomsel untuk periode 2001-2006.
b. Perbandingan harga antara Telkomsel, Indosat dan Excelcomindo dan analisa pola tarif, keduanya memperlihatkan adanya paralel harga (price-parallelism). Khususnya, Indosat dan Excelcomindo mengikuti perubahan harga yang ditetapkan Telkomsel dalam pasar pasca bayar.
c. Untuk itu Telkomsel merupakan pemimpin harga dimana Indosat dan Excelcomindo tidak memiliki kemampuan untuk berkompetisi dibidang harga. Secara efektif, terdapat kolusi diam-diam diantara ketiga operator yang efeknya serupa dengan kartel yang mendominasi pasar.

Tuduhan Ketiga : Penyalahgunaan Posisi Dominan.

Bila dikaitkan dengan industri seluler Indonesia, Telkomsel merupakan first mover dalam industri ini, karena merupakan pemain yang paling lama, memiliki posisi dominan, dan pembangunan infrastruktur yang paling luas. Hal ini diperjelas dengan data perbandingan jumlah BTS seluler, dimana Telkomsel memiliki BTS yang paling tinggi, jauh diatas pesaingnya. Adanya jangka waktu lama upaya new entrant tersebut akan membuat first mover memiliki posisi dominan dengan market power yang mudah digunakan untuk mengakumulasi monopolis profit. Telkomsel juga dianggap memperlambat pembangunan BTS milik Indosat.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa cross-ownership yang terjadi pada industri jasa seluler semakin menjauhkan industri tersebut sehat dan kompetitif karena melemahkan persaingan Indosat sebagai closest rival terhadap Telkomsel sebagai dominan player.


III. Putusan KPPU

Dari beberapa asumsi diatas, selanjutnya KPPU berdasarkan Putusan Perkara Nomor 07/KPPU-L/2007 mengeluarkan putusan sebagai berikut :
Menyatakan bahwa Temasek Holdings, Pte. Ltd. bersama-sama dengan Singapore Technologies Telemedia Pte. Ltd., STT Communications Ltd., Asia Mobile Holding Company Pte. Ltd, Asia Mobile Holdings Pte. Ltd., Indonesia Communication Limited, Indonesia Communication Pte. Ltd., Singapore Telecommunications Ltd., dan Singapore Telecom Mobile Pte. Ltd terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 27 huruf a UU No 5 Tahun 1999;
Menyatakan bahwa PT. Telekomunikasi Selular terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 17 ayat (1) UU No 5 Tahun 1999;
Menyatakan bahwa PT. Telekomunikasi Selular tidak terbukti melanggar Pasal 25 ayat (1) huruf b UU No 5 Tahun 1999;
Memerintahkan kepada Temasek Holdings, Pte. Ltd., bersama-sama Singapore Technologies Telemedia Pte. Ltd., STT Communications Ltd., Asia Mobile Holding Company Pte. Ltd, Asia Mobile Holdings Pte. Ltd., Indonesia Communication Limited, Indonesia Communication Pte. Ltd., Singapore Telecommunications Ltd., dan Singapore Telecom Mobile Pte. Ltd untuk menghentikan tindakan kepemilikan saham di PT. Telekomunikasi Selular dan PT.Indosat, Tbk. dengan cara melepas seluruh kepemilikan sahamnya di salah satu perusahaan yaitu PT. Telekomunikasi Selular atau PT.Indosat, Tbk. Dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak putusan ini memiliki kekuatan hukum tetap;
Memerintahkan kepada Temasek Holdings, Pte. Ltd., bersama-sama Singapore Technologies Telemedia Pte. Ltd., STT Communications Ltd., Asia Mobile Holding Company Pte. Ltd, Asia Mobile Holdings Pte. Ltd., Indonesia Communication Limited, Indonesia Communication Pte. Ltd., Singapore Telecommunications Ltd., dan Singapore Telecom Mobile Pte. Ltd untuk memutuskan perusahaan yang akan dilepas kepemilikan sahamnya serta melepaskan hak suara dan hak untuk mengangkat direksi dan komisaris pada salah satu perusahaan yang akan dilepas yaitu PT. Telekomunikasi Selular atau PT.Indosat, Tbk. sampai dengan dilepasnya saham secara keseluruhan sebagaimana diperintahkan pada diktum no. 4 di atas;
Pelepasan kepemilikan saham sebagaimana dimaksud pada diktum no.4 di atas dilakukan dengan syarat sebagai berikut:
a. untuk masing-masing pembeli dibatasi maksimal 5% dari total saham yang dilepas;
b. pembeli tidak boleh terasosiasi dengan Temasek Holdings, Pte. Ltd. maupun pembeli lain dalam bentuk apa pun;
Menghukum Temasek Holdings, Pte. Ltd., Singapore Technologies Telemedia Pte. Ltd., STT Communications Ltd., Asia Mobile Holding Company Pte. Ltd, bAsia Mobile Holdings Pte. Ltd., Indonesia Communication Limited, Indonesia Communication Pte. Ltd., Singapore Telecommunications Ltd., dan Singapore Telecom Mobile Pte. Ltd masing-masing membayar denda sebesar Rp.25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) yang harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran di bidang persaingan usaha Departemen Perdagangan Sekretariat Jenderal Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah dengan kode penerimaan 423491 (Pendapatan Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha)
Memerintahkan PT. Telekomunikasi Selular untuk menghentikan praktek pengenaan tarif tinggi dan menurunkan tarif layanan selular sekurangkurangnya sebesar 15% (lima belas persen) dari tarif yang berlaku pada tanggal dibacakannya putusan ini;
Menghukum PT. Telekomunikasi Selular membayar denda sebesar Rp.25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) yang harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran di bidang persaingan usaha Departemen Perdagangan Sekretariat Jenderal Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah dengan kode penerimaan 423491 (Pendapatan Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha);



IV. Pembelaan Teamasek Holdings Pte. Ltd.

Pembelaan Pertama : Temasek Tidak Memiliki Saham Mayoritas
Arah dari tuduhan pertama adalah bahwa Temasek memiliki “saham mayoritas” dalam dua penyedia jasa telekomunikasi di Indonesia melalui anak-anak perusahaannya adalah tidak benar.
KPPU Mencampuradukkan istilah Pemegang Saham “Minoritas” Dan “Mayoritas”. Pengertian yang sebenarnya dari “saham mayoritas” adalah kepemilikan lebih dari 50% saham dalam suatu perusahaan. Secara umum, kata-kata ‘mayoritas’ dan ‘minoritas’ adalah eksklusif. Hanya satu orang yang dapat memegang kepemilikan saham mayoritas. Dalam Undang-undang 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (“Undang-Undang BUMN”) dan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang pasar modal, keduanya mendefinisikan istilah pemegang saham mayoritas dan keduanya menjadi panduan terbaik dalam menentukan definisi dari istilah tersebut dalam konteks tersebut.
Penjelasan dari Pasal 15 ayat (2) dari Undang-undang Nomor 8Tahun 1995 tentang Pasar Modal mendefinisikan “pemegang saham mayoritas” adalah: “mayoritas saham adalah pemegang saham yang memiliki lebih dari 50% (lima puluh persen) dari modal yang ditempatkan dan disetor perusahaan.”
Pasal 1 butir 1 dari Undang-Undang BUMN menyebutkan sebagai berikut: “1. Badan Usaha Milik Negara, yang selanjutnya disebut BUMN, adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan..”
Meskipun seseorang melekatkan definisi “pemegang saham mayoritas” pada hak suara dan bukan pada jumlah saham, harus dicatat bahwa STT (anak perusahaan Temasek) tetap tidak memegang mayoritas baik atas hak suara maupun jumlah saham di Indosat. Jadi definisi apapun yang digunakan, STT tetap di bawah jumlah 50%. STT hanyalah pemegang saham tidak langsung dan tidak memiliki hak suara apapun dalam Indosat.
Terdapat fakta yang diabaikan bahwa kata-kata yang digunakan dalam Pasal 27 tidak melarang seorang pemegang saham untuk belakukan tingkat “penguasaan” yang dimilikinya. Pasal menyebutkan kepemilikan mayoritas. Bahkan pada saat pembuat undang-undang hendak merujuk pada hal pengendalian, pembuat undang-undang telah melakukannya dengan bahasa yang lugas, sebagai contoh dalam Pasal 17 dan 18 dari UU Anti Monopoli.
Dalam sudut pandang Telkomsel, Singtel Mobile hanyalah pemegang saham minoritas yang berhak menunjuk 2 dari 6 anggota Dewan Komisaris Telkomsel, sisanya ditunjuk oleh Telkom. Walaupun saat ini hanya terdapat 5 Komisaris, Telkom tetap berhak untuk menunjuk Komisaris ke-6. Serupa dengan hal tersebut, Singtel Mobile hanya berhak menunjuk 2 dari 5 anggota Dewan Direksi Telkomsel. Lagi-lagi, Telkom merupakan pihak yang berhak menunjuk sisanya. Seluruh keputusan-keputusan dewan pengurus Telkomsel harus dibuat dengan persetujuan mayoritas suara, tidak mungkin Temasek, baik sendiri maupun melalui anak-anak perusahaannya (Terlapor 2 s/d 9), melakukan kendali/kontrol terhadap Telkomsel.


Pembelaan Kedua : Kepemimpinan Harga dalam menerapkan tarif tinggi

Baik Temasek atau SingTel atau ST Mobile tidak mengawasi atau mempengaruhi kebijakan-kebijakan dan keputusan-keputusan Telkomsel atas pengadaan atau tarif.
Baik Temasek atau SingTel atau ST Mobile tidak memainkan peranan dalam proses pengadaan Telkomsel. Pengadaan diurus oleh Departemen Perencanaan dan pengembangan, yang dikepalai oleh anggota yang dicalonkan Telkom.
Temasek memahami bahwa KPPU telah menyimpulkan dalam laporannya bahwa Telkomsel tidak terikat dalam pengadaan patungan dengan suatu perusahaan yang merupakan afiliasi dengan SingTel tetapi membagi informasi dengan perusahaan-perusahaan tersebut. KPPU tidak menuduh bahwa pembagian informasi yang terjadi tidak sah atau tidak tepat dengan cara apa pun. Dalam suatu hal, dan karena pertanyaan-pertanyaan tentang pengadaan dan pengadaaan patungan mengambil waktu terlampau banyak selama Pemeriksaan atas SingTeln pada tanggal 23 Juli 2007, NERA telah menyampaikan masalah pengadaan patungan tersebut dan menyimpulkan bahwa pengadaan patungan tersebut dilakukan untuk memperoleh diskon atas dasar volume secara bersaing dengan ketentuan masukan-masukan dalam proses produksi tidak anti kompetitif.
Sebaliknya, diskon atas dasar volume merupakan aspek yang biasa dan sehat atas proses bersaing yang juga memajukan kesejahteraan pelanggan.
Baik Temasek maupun SingTel atau ST Mobile tidak mempengaruhi atas keputusankeputusan Telkomsel atas tafif.
Selanjutnya baik Temasek ataupun SingTel atau ST Mobile tidak berada dalam suatu posisi dan tidak satu pun dari mereka sebenarnya mempengaruhi kebijakan atau keputusan Telkomsel tentang tarif. Kami memahami bahwa KPPU menerima bahwa tarif telekomunikasi seluler sepenuhnya dilimpahkan kepada para operator berdasarkan pokok formula dan struktur tarif yang ditetapkan pemerintah sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 28 Undang-Undang No.36 tahun 1999.. Menurut Pasal 28 Undang-Undang No.36/1999 mengenai tarif untuk jaringan kerja telekomunikasi dan jasa telekomunikasi harus ditentukan oleh jaringan kerja (“Undang-Undang Telekomunikasi”) dan para operator jasa dengan mengacu pada formula yang ditentukan Pemerintah. Pemerintah mengatur industri telekomunikasi melalui Departemen Perhubungan (“MOC”) dan selanjutnya Departemen Perhubungan dan Informatika (“MOCI”). KPPU juga menerima bahwa para operator telekomunikasi seluler saat ini memenuhi peraturan-peraturan dalam menentukan tarif yang menetapkan harga plafon yang berlaku di Indonesia. Keduanya adalah bagian dari pengaturan sebelum Undang-Undang No.36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi 70 mulai berlaku.
Dalam batasan formula sempit yang diharuskan untuk tarif yang ditetapkan Pemerintah, tarif ditentukan oleh Dewan Direksi di mana baik Temasek, ataupun SingTel atau ST Mobile tidak mempunyai suara terbanyak. Ini dikonfirmasikan oleh perwakilan ST Mobile, Tuan Sean Slattery, selama Pemeriksaan atas ST Mobile pada tanggal 23 Juli 2007 dan juga perwakilan Telkomsel selama Pemeriksaan Telkomsel pada tanggal 13 Juli 2007 sebagaimana tercantum di bawah ini.
Pemeriksaan ST Mobile. KPPU: Ada kecenderungan ketika mengkaji secar ekonomis tarif Telkomsel menjadi Leader dalam industri. Telkomsel memasang tarif tinggi, apakah ini diketahui SingTel Mobile? Jawaban: Tarif ditentukan Direksi Telkomsel, SingTel Mobile tidak terlibat. Tidak seorang pun dari SingTel telah memberikan saran atau usulan kepada siapapun di Telkomsel, termasuk pihak yang ditunjuk ST Mobile dalam Dewan Komisaris atau Dewan Direksi Telkomsel, yang berkaitan dengan tarif atau penetapan harga (pricing). Selanjutnya, mayoritas Dewan Direksi pada Telkomsel diangkat oleh mayoritas pemegang saham, yakni PT Telkom. Oleh karena itu, jika ada pihak memiliki kedudukan untuk mempengaruhi secara material terhadap tarif Telkomsel, maka pihak tersebut adalah PT Telkom dan bukan Temasek, SingTel atau ST Mobile. Tidak ada saran yang mengusulkan bahwa Temasek, SingTel atau ST Mobile kenyataannya memiliki pengaruh material terhadap kebijakan Telkomsel tentang tarif.

Pembelaan Ketiga Tidak ada Bukti Pelanggaran Terhadap Posisi Dominan

Seorang ahli dimintai pendapat sebagai saksi ahli yaitu Profesor Hikmahanto yang menyatakan bahwa STT (pemilik saham Telkomsel) semata-mata berada dalam posisi dominan sebagai hasil dari kepemilikan silang mayoritas dari beberapa perusahaan tidak serta merta merupakan pelanggaran terhadap UU Anti Monopoli. Hanyalah penyalahgunaan posisi tersebut yang menyebabkan terjadinya pelanggaran terhadap UU Anti Monopoli.
Pandangan Profesor Hikmahanto adalah bahwa Pasal 27 huruf a dari UU Anti Monopoli harus dibaca berdasarkan Rule of Reason Pasal 27 huruf a dari UU Anti Monopoli merupakan Bagian Posisi Dominan dan dalam hal ini; Pasal 27 huruf a dari UU Anti Monopoli tersebut harus dibaca secara bersama-sama dengan penyalahgunaan spesifik dari Posisi Dominan yang dilarang oleh Pasal 25 dari UU Anti Monopoli. Pembacaan secara luas dari Pasal 27 huruf a dari UU Anti Monopoli, bahwa keberadaan suatu Posisi Dominan semata-mata adalah melawan hukum akan membuat kerancuan pada Pasal 25 dari UU Anti Monopoli karena Pasal 25 dari UU Anti Monopoli hanya diterapkan jika Posisi Dominan disalahgunakan.
KPPU oleh karena itu harus membuktikan tuduhan - tuduhan nya bahwa STT telah nyata-nyata mempergunakan kepemilikannya untuk mengurangi tingkat persaingan di pasar. Kepemilikan mayoritas saja bukanlah pelanggaran terhadap undang-undang.
KPPU harus membuktikan adanya penyalahgunaan dari posisi dominan. KPPU harus juga membuktikan hubungan sebab akibat antara kepemilikan saham STT dan tuduhan pengurangan persaingan. Hanyalah penyalahgunaan posisi yang merupakan pelanggaran. Dinyatakan bahwa KPPU belum dapat melakukan pembuktian dalam hal ini.
Menurut Telkomsel bahwa Telkomsel tidak terbukti menyalahgunakan posisi dominan untuk penguasaan pasar dan pengembangan teknologi disebabkan karena :
1. Dari Aspek legal, tidak ada bukti secara legal Telkomsel menyalahgunakan posisi dominan untuk penguasaan pasar.
2. Dari aspek praktek usaha, Telkomsel selalu mengikuti regulasi yang berlaku di Indonesia, mulai dari proses penetapan tarif, penyampaian report ke regulator, komitment terhadap pengembangan infrastruktur telekomunikasi di Indonesia sebagai persyaratan terhadap license yang didapat oleh Telkomsel.
3. Dapat disimpulkan berkembangnya bisnis usaha telkomsel murni disebabkan karena Telkomsel melakukan praktek usaha yang sehat dan kinerja yang optimal sejalan dengan misi Telkomsel untuk mewujudkan service leadership company (dalam hal coverage, quality, capacity dan layanan)
“Interpretasi sistematis” KPPU mengenai Pasal 27 sebenarnya membuat rancu konsep mengenai ‘mayoritas’ untuk dapat mempengaruhi pengambilan keputusan dalam sebuah perusahaan. Sebagai contoh, dalam interpretasi Sistematis, KPPU mengatakan bahwa kepemilikan saham sebesar 25% dapat merupakan sebuah kepemilikan saham mayoritas karena dapat memveto keputusan tertentu. Ini jelas salah. Hanya karena satu pihak memiliki kemampuan untuk menghalangi pengambilan keputusan tertentu dalam suatu perusahaan tidak berarti bahwa pihak tersebut merupakan “pemegang saham mayoritas” dalam perusahaan tersebut.Melalui rezim “one share one vote”, keputusan dalam RUPS pada umumnya dapat dicapai melalui simple majority, yaitu vote diatas 50%. Dengan demikian kendali atas perusahaan tersebut diperoleh jika pelaku usaha memiliki saham diatas 50%.

PERSAINGAN USAHA

ANALISIS PUTUSAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA (KPPU)
NO. 07/KPPU-L/2007 TENTANG KASUS TEMASEK HOLDINGS Pte. Ltd.
TERHADAP PELANGGARAN UU NO 5 TAHUN 1999
TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI
DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT
(Ditinjau Dari Aspek Pembelaan Diri Temasek Terhadap Tuduhan KPPU)



I. Profile Kasus Temasek Holdings Pte. Ltd.

Pada kisaran bulan April Tahun 2007, terjadi sebuah kasus yang cukup memberikan pengaruh pada dunia telekomunikasi di Indonesia khususnya pengguna jasa telepon seluler. Sebuah perusahaan Holding Company berasal dari Singapura yaitu Temasek Holdings Pte. Ltd. yang mengelola dana investasi sebesar US$ 108 Miliar atau sekitar Seribu triliun rupiah diduga melakukan struktur kepemilikan silang atas saham dua perusahaan jasa seluler Indonesia yaitu Telkomsel dan Indosat. Dugaan tersebut telah berlangsung mulai dari tahun 2002 dan baru diangkat ke sidang Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) pada tahun 2006. Adapun pihak-pihak yang menjadi terlapor dalam kasus dugaan pelanggaran tersebut adalah :
1. Temasek Holdings Pte. Ltd.
2. Singapore Technologies Telemedia Pte. Ltd.
3. STT Communications Ltd.
4. Asia Mobile Holding Company Pte. Ltd.
5. Asia Mobile Holdings Pte. Ltd.
6. Indonesia Communications Limited.
7. Indonesia Communications Pte. Ltd.
8. Singapore Telecommunications Ltd.
9. Singapore Telecom Mobile Pte. Ltd.
10. PT. Telekomunikasi Selular.

II. Tuduhan Pelanggaran UU No 5 Tahun 1999 oleh Temasek Holdings Pte Ltd

Adapun dugaan pelanggaran yang dituduhkan oleh KPPU adalah sebagai berikut :
1. Temasek Holdings Pte. Ltd. memiliki saham mayoritas pada dua perusahaan yang melakukan kegiatan usaha dalam bidang yang sama pada pasar bersangkutan yang sama, sehingga melanggar pasal 27 huruf a UU No 5 Tahun 1999 yang menentukan bahwa :
Pelaku usaha dilarang memiliki saham mayoritas pada beberapa perusahaan sejenis yang melakukan kegiatan usaha dalam bidang yang sama pada pasar bersangkutan yang sama, atau mendirikan beberapa perusahaan yang memiliki kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan yang sama, apabila kepemilikan tersebut mengakibatkan:
a. satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.

2. PT Telekomunikasi Selular (selanjutnya disebut Telkomsel) mempertahankan tarif seluler yang tinggi, sehingga melanggar pasal 17 ayat (1) UU No 5 Tahun 1999 yang menentukan bahwa :
1) Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila:
a. Barang dan atau jasa yang bersangkutan belum ada substitusinya; atau
b. Mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan usaha barang dan atau jasa yang sama; atau
c. Satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
3. Telkomsel menyalahgunakan posisi dominannya untuk membatasi pasar dan pengembangan teknologi sehingga melanggar pasal 25 ayat (1) huruf b UU No 5 Tahun 1999 yang menentukan bahwa :
1) Pelaku usaha dilarang menggunakan posisi dominan baik secara langsung maupun tidak langsung untuk:
a. menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan tujuan untuk mencegah dan atau menghalangi konsumen memperoleh barang dan atau jasa yang bersaing, baik dari segi harga maupun kualitas; atau
b. membatasi pasar dan pengembangan teknologi; atau
c. menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk memasuki pasar bersangkutan.


Tuduhan Pertama : Kepemilikan Silang dan Saham Mayoritas

Bukti tuduhan terhadap Temasek dimuat dalam point ke 46 pada bagian dugaan pelanggaran dalam Putusan KPPU. Berdasarkan fakta yang diperoleh, Temasek melalui anak perusahaannya memiliki 35% saham dengan hak suara di Telkomsel, hak untuk menominasikan direksi dan komisaris, dan kewenangan untuk menentukan arah kebijakan perusahaan terutamadalam hal persetujuan anggaran melalui Capex Committee dan kemampuan untukmemveto putusan RUPS (negative control) dalam hal perubahan Anggaran Dasar, buy back saham perusahaan, penggabungan, peleburan, pengambilalihan,pembubaran dan likuidasi perusahaan.
Hal yang sama terjadi juga pada Indosat, Temasek memiliki sekitar 41,94% saham dengan hak suara di Indosat, hak untuk menominasikan direksi dan komisaris dan kewenangan untuk menentukan arah kebijakan perusahaan Indosat. Pemegang saham lainnya adalah Pemerintah RI sebesar 15% dan publik sebesar 43,06%. Saham publik diperdagangkan di pasar modal Indonesia dan Amerika Serikat yang berubah-ubah terus kepemilikannya dan secara keseluruhan hampir tidak mungkin untuk bertindak secara bersama-sama. Oleh karena itu Temasek merupakan pengendali aktif (positive control) di Indosat; pada akhir kesimpulannya bahwa KPPU menganggap Temasek melalui anak-anak perusahaannya memiliki kendali pada Telkomsel dan Indosat.
Dasar tuduhan kepada Temasek telah melakukan kepemilikan silang sehingga melanggar UU Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat adalah dengan adanya kepemilikan silang yang dituduhkan oleh KPPU atau masalah cross-ownership. Cross-ownership selain memiliki dampak langsung terhadap perubahan struktur kepemilikan suatu perusahaan juga akan memberikan dampak perubahan struktur industri dimana perusahaan itu berada. Untuk mengukur apakah cross-ownership yang sedang diteliti memberikan dampak buruk terhadap persaingan, otoritas kompetisi lazimnya memperhatikan perubahan tingkat konsentrasi industri sebelum dan sesudah cross-ownership terjadi. Apabila tingkat struktur industri setelah cross-ownership semakin terkonsentrasi maka hal tersebut memberikan indikasi bahwa cross-ownership yang dilakukan berdampak buruk terhadap persaingan.
Hal tersebut didasarkan bahwa peningkatan tingkat konsentrasi suatu industri dapat menjadi indikasi peningkatan market power pelaku usaha dalam industri tersebut. Peningkatan market power memberikan keleluasaan bagi pelaku usaha untuk menetapkan harga (price maker) Ada tidaknya penggunaan market power yang dimiliki oleh pelaku usaha, dapat diindikasikan dengan:
1. Tingginya harga jual produk;
2. Relatif dengan produk subsitusi;
3. Relatif dengan biaya produksi;
4. Tingginya margin keuntungan pelaku usaha di pasar bersangkutan;
Dampak akhir dari cross-ownership yang berdampak buruk terhadap persaingan adalah adanya nilai kerugian konsumen atau disebut consumer loss. Consumer loss muncul sebagai akibat dari tingginya harga jual produk dibandingkan dari yang seharusnya dapat dijangkau lebih murah atau kuantitas output di pasaran yang jumlahnya lebih rendah dari yang seharusnya konsumen dapatkan.
Pernyataan utama KPPU menentang terjadinya kepemilikan silang diatas adalah bahwa jika tidak terdapat kepemilikan silang di Indosat dan Telkomsel maka akan menimbulkan kompetisi yang lebih baik.

Tuduhan Kedua : Kepemimpinan Harga (Price leadership) oleh Telkomsel Sehingga Menyebabkan Pemasangan Tarif yang Tinggi

KPPU berpendapat bahwa kepemilikan silang Temasek terhadap Indosat dan Telkomsel telah berpengaruh negatif terhadap kondisi persaingan di pasar relevan. Sehubungan dengan hal ini, KPPU mengklaim sejumlah hal yang pada pokoknya sebagai berikut:
a. Klaim bahwa pasar relevan itu terkonsentrasi tinggi dan terus bertambah dalam beberapa waktu terakhir.
b. Variasi dari klaim mengenai kinerja keuangan Telkomsel yang baik.
c. Klaim bahwa kinerja Indosat tidak baik sejak akuisis saham oleh ICL/ICPL.
d. Klaim yang menyatakan bahwa Telkomsel telah menyebabkan buruknya kinerja Indosat.
e. Klaim bahwa pasar dikarakteristikan dengan dilakukannya price leadership oleh Telkomsel.
f. Klaim bahwa tarif Telkomsel itu berlebihan.
g. Klaim bahwa ketiadaan dugaan “kepemilikan silang”, maka situasi persaingan didalam pasar akan lebih baik.
Selanjutnya KPPU juga menganggap bahwa PT Telkomsel Seluler selaku anak perusahaan Temasek Holdings Pte Ltd telah melakukan praktek oligopoli dimana ada yang disebut dengan Kepemimpinan Harga (Price Leadership). Menurut KPPU, ketika suatu pelaku pasar memiliki posisi yang sangat dominan terhadap pasar secara relatif terhadap kompetitornya, pelaku pasar yang bersangkutan dapat, secara sepihak (unilateraly), menentukan harga pasar tanpa mengindahkan harga yang diberikan oleh kompetitornya. Pada industri yang bersifat oligopoly yang terdapat pemain dominan (dominant player) didalamnya, maka cross-ownership yang terjadi pada dominant player industri tersebut tidak hanya akan berdampak pada peningkatkan konsentrasi dominant player tersebut saja. Peningkatan konsentrasi tersebut memberikan ruang peningkatan market power.
Tingginya market power dominant player relatif terhadap para pesaingnya, memudahkan dominant player menentukan output dan harga tanpa terpengaruh keputusan pesaing. Keputusan dominant player untuk menetapkan tarif tinggi sebagai bentuk penggunaan market power secara optimum akan menjadi pelindung dan insentif bagi pesaing-pesaingnya untuk turut menikmati tarif tinggi. Fenomena tersebut adalah bentuk dari munculnya price leadership.
Kehadiran price leadership dalam suatu industri menyebabkan pilihan konsumen untuk menikmati harga yang lebih murah menjadi terhambat. Indikasi terjadinya price leadership adalah adanya pola perubahan tarif antar operator yang relatif seragam, tingginya harga produk, serta tingginya margin keuntungan antar pelaku usaha;
Alasan KPPU dalam membrikan anggapan demikian adalah bahwa :
a. Telkomsel memiliki :
(i) Pangsa pasar yang terbesar dalam pasar terkait sejak 2001;
(ii) Jaringan BTS yang paling luas; dan
(iii) Pendapatan rata-rata terbesar diantara Indosat, Excelcomindo dan
Telkomsel untuk periode 2001-2006.
b. Perbandingan harga antara Telkomsel, Indosat dan Excelcomindo dan analisa pola tarif, keduanya memperlihatkan adanya paralel harga (price-parallelism). Khususnya, Indosat dan Excelcomindo mengikuti perubahan harga yang ditetapkan Telkomsel dalam pasar pasca bayar.
c. Untuk itu Telkomsel merupakan pemimpin harga dimana Indosat dan Excelcomindo tidak memiliki kemampuan untuk berkompetisi dibidang harga. Secara efektif, terdapat kolusi diam-diam diantara ketiga operator yang efeknya serupa dengan kartel yang mendominasi pasar.

Tuduhan Ketiga : Penyalahgunaan Posisi Dominan.

Bila dikaitkan dengan industri seluler Indonesia, Telkomsel merupakan first mover dalam industri ini, karena merupakan pemain yang paling lama, memiliki posisi dominan, dan pembangunan infrastruktur yang paling luas. Hal ini diperjelas dengan data perbandingan jumlah BTS seluler, dimana Telkomsel memiliki BTS yang paling tinggi, jauh diatas pesaingnya. Adanya jangka waktu lama upaya new entrant tersebut akan membuat first mover memiliki posisi dominan dengan market power yang mudah digunakan untuk mengakumulasi monopolis profit. Telkomsel juga dianggap memperlambat pembangunan BTS milik Indosat.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa cross-ownership yang terjadi pada industri jasa seluler semakin menjauhkan industri tersebut sehat dan kompetitif karena melemahkan persaingan Indosat sebagai closest rival terhadap Telkomsel sebagai dominan player.


III. Putusan KPPU

Dari beberapa asumsi diatas, selanjutnya KPPU berdasarkan Putusan Perkara Nomor 07/KPPU-L/2007 mengeluarkan putusan sebagai berikut :
Menyatakan bahwa Temasek Holdings, Pte. Ltd. bersama-sama dengan Singapore Technologies Telemedia Pte. Ltd., STT Communications Ltd., Asia Mobile Holding Company Pte. Ltd, Asia Mobile Holdings Pte. Ltd., Indonesia Communication Limited, Indonesia Communication Pte. Ltd., Singapore Telecommunications Ltd., dan Singapore Telecom Mobile Pte. Ltd terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 27 huruf a UU No 5 Tahun 1999;
Menyatakan bahwa PT. Telekomunikasi Selular terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 17 ayat (1) UU No 5 Tahun 1999;
Menyatakan bahwa PT. Telekomunikasi Selular tidak terbukti melanggar Pasal 25 ayat (1) huruf b UU No 5 Tahun 1999;
Memerintahkan kepada Temasek Holdings, Pte. Ltd., bersama-sama Singapore Technologies Telemedia Pte. Ltd., STT Communications Ltd., Asia Mobile Holding Company Pte. Ltd, Asia Mobile Holdings Pte. Ltd., Indonesia Communication Limited, Indonesia Communication Pte. Ltd., Singapore Telecommunications Ltd., dan Singapore Telecom Mobile Pte. Ltd untuk menghentikan tindakan kepemilikan saham di PT. Telekomunikasi Selular dan PT.Indosat, Tbk. dengan cara melepas seluruh kepemilikan sahamnya di salah satu perusahaan yaitu PT. Telekomunikasi Selular atau PT.Indosat, Tbk. Dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak putusan ini memiliki kekuatan hukum tetap;
Memerintahkan kepada Temasek Holdings, Pte. Ltd., bersama-sama Singapore Technologies Telemedia Pte. Ltd., STT Communications Ltd., Asia Mobile Holding Company Pte. Ltd, Asia Mobile Holdings Pte. Ltd., Indonesia Communication Limited, Indonesia Communication Pte. Ltd., Singapore Telecommunications Ltd., dan Singapore Telecom Mobile Pte. Ltd untuk memutuskan perusahaan yang akan dilepas kepemilikan sahamnya serta melepaskan hak suara dan hak untuk mengangkat direksi dan komisaris pada salah satu perusahaan yang akan dilepas yaitu PT. Telekomunikasi Selular atau PT.Indosat, Tbk. sampai dengan dilepasnya saham secara keseluruhan sebagaimana diperintahkan pada diktum no. 4 di atas;
Pelepasan kepemilikan saham sebagaimana dimaksud pada diktum no.4 di atas dilakukan dengan syarat sebagai berikut:
a. untuk masing-masing pembeli dibatasi maksimal 5% dari total saham yang dilepas;
b. pembeli tidak boleh terasosiasi dengan Temasek Holdings, Pte. Ltd. maupun pembeli lain dalam bentuk apa pun;
Menghukum Temasek Holdings, Pte. Ltd., Singapore Technologies Telemedia Pte. Ltd., STT Communications Ltd., Asia Mobile Holding Company Pte. Ltd, bAsia Mobile Holdings Pte. Ltd., Indonesia Communication Limited, Indonesia Communication Pte. Ltd., Singapore Telecommunications Ltd., dan Singapore Telecom Mobile Pte. Ltd masing-masing membayar denda sebesar Rp.25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) yang harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran di bidang persaingan usaha Departemen Perdagangan Sekretariat Jenderal Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah dengan kode penerimaan 423491 (Pendapatan Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha)
Memerintahkan PT. Telekomunikasi Selular untuk menghentikan praktek pengenaan tarif tinggi dan menurunkan tarif layanan selular sekurangkurangnya sebesar 15% (lima belas persen) dari tarif yang berlaku pada tanggal dibacakannya putusan ini;
Menghukum PT. Telekomunikasi Selular membayar denda sebesar Rp.25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) yang harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran di bidang persaingan usaha Departemen Perdagangan Sekretariat Jenderal Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah dengan kode penerimaan 423491 (Pendapatan Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha);



IV. Pembelaan Teamasek Holdings Pte. Ltd.

Pembelaan Pertama : Temasek Tidak Memiliki Saham Mayoritas
Arah dari tuduhan pertama adalah bahwa Temasek memiliki “saham mayoritas” dalam dua penyedia jasa telekomunikasi di Indonesia melalui anak-anak perusahaannya adalah tidak benar.
KPPU Mencampuradukkan istilah Pemegang Saham “Minoritas” Dan “Mayoritas”. Pengertian yang sebenarnya dari “saham mayoritas” adalah kepemilikan lebih dari 50% saham dalam suatu perusahaan. Secara umum, kata-kata ‘mayoritas’ dan ‘minoritas’ adalah eksklusif. Hanya satu orang yang dapat memegang kepemilikan saham mayoritas. Dalam Undang-undang 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (“Undang-Undang BUMN”) dan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang pasar modal, keduanya mendefinisikan istilah pemegang saham mayoritas dan keduanya menjadi panduan terbaik dalam menentukan definisi dari istilah tersebut dalam konteks tersebut.
Penjelasan dari Pasal 15 ayat (2) dari Undang-undang Nomor 8Tahun 1995 tentang Pasar Modal mendefinisikan “pemegang saham mayoritas” adalah: “mayoritas saham adalah pemegang saham yang memiliki lebih dari 50% (lima puluh persen) dari modal yang ditempatkan dan disetor perusahaan.”
Pasal 1 butir 1 dari Undang-Undang BUMN menyebutkan sebagai berikut: “1. Badan Usaha Milik Negara, yang selanjutnya disebut BUMN, adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan..”
Meskipun seseorang melekatkan definisi “pemegang saham mayoritas” pada hak suara dan bukan pada jumlah saham, harus dicatat bahwa STT (anak perusahaan Temasek) tetap tidak memegang mayoritas baik atas hak suara maupun jumlah saham di Indosat. Jadi definisi apapun yang digunakan, STT tetap di bawah jumlah 50%. STT hanyalah pemegang saham tidak langsung dan tidak memiliki hak suara apapun dalam Indosat.
Terdapat fakta yang diabaikan bahwa kata-kata yang digunakan dalam Pasal 27 tidak melarang seorang pemegang saham untuk belakukan tingkat “penguasaan” yang dimilikinya. Pasal menyebutkan kepemilikan mayoritas. Bahkan pada saat pembuat undang-undang hendak merujuk pada hal pengendalian, pembuat undang-undang telah melakukannya dengan bahasa yang lugas, sebagai contoh dalam Pasal 17 dan 18 dari UU Anti Monopoli.
Dalam sudut pandang Telkomsel, Singtel Mobile hanyalah pemegang saham minoritas yang berhak menunjuk 2 dari 6 anggota Dewan Komisaris Telkomsel, sisanya ditunjuk oleh Telkom. Walaupun saat ini hanya terdapat 5 Komisaris, Telkom tetap berhak untuk menunjuk Komisaris ke-6. Serupa dengan hal tersebut, Singtel Mobile hanya berhak menunjuk 2 dari 5 anggota Dewan Direksi Telkomsel. Lagi-lagi, Telkom merupakan pihak yang berhak menunjuk sisanya. Seluruh keputusan-keputusan dewan pengurus Telkomsel harus dibuat dengan persetujuan mayoritas suara, tidak mungkin Temasek, baik sendiri maupun melalui anak-anak perusahaannya (Terlapor 2 s/d 9), melakukan kendali/kontrol terhadap Telkomsel.


Pembelaan Kedua : Kepemimpinan Harga dalam menerapkan tarif tinggi

Baik Temasek atau SingTel atau ST Mobile tidak mengawasi atau mempengaruhi kebijakan-kebijakan dan keputusan-keputusan Telkomsel atas pengadaan atau tarif.
Baik Temasek atau SingTel atau ST Mobile tidak memainkan peranan dalam proses pengadaan Telkomsel. Pengadaan diurus oleh Departemen Perencanaan dan pengembangan, yang dikepalai oleh anggota yang dicalonkan Telkom.
Temasek memahami bahwa KPPU telah menyimpulkan dalam laporannya bahwa Telkomsel tidak terikat dalam pengadaan patungan dengan suatu perusahaan yang merupakan afiliasi dengan SingTel tetapi membagi informasi dengan perusahaan-perusahaan tersebut. KPPU tidak menuduh bahwa pembagian informasi yang terjadi tidak sah atau tidak tepat dengan cara apa pun. Dalam suatu hal, dan karena pertanyaan-pertanyaan tentang pengadaan dan pengadaaan patungan mengambil waktu terlampau banyak selama Pemeriksaan atas SingTeln pada tanggal 23 Juli 2007, NERA telah menyampaikan masalah pengadaan patungan tersebut dan menyimpulkan bahwa pengadaan patungan tersebut dilakukan untuk memperoleh diskon atas dasar volume secara bersaing dengan ketentuan masukan-masukan dalam proses produksi tidak anti kompetitif.
Sebaliknya, diskon atas dasar volume merupakan aspek yang biasa dan sehat atas proses bersaing yang juga memajukan kesejahteraan pelanggan.
Baik Temasek maupun SingTel atau ST Mobile tidak mempengaruhi atas keputusankeputusan Telkomsel atas tafif.
Selanjutnya baik Temasek ataupun SingTel atau ST Mobile tidak berada dalam suatu posisi dan tidak satu pun dari mereka sebenarnya mempengaruhi kebijakan atau keputusan Telkomsel tentang tarif. Kami memahami bahwa KPPU menerima bahwa tarif telekomunikasi seluler sepenuhnya dilimpahkan kepada para operator berdasarkan pokok formula dan struktur tarif yang ditetapkan pemerintah sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 28 Undang-Undang No.36 tahun 1999.. Menurut Pasal 28 Undang-Undang No.36/1999 mengenai tarif untuk jaringan kerja telekomunikasi dan jasa telekomunikasi harus ditentukan oleh jaringan kerja (“Undang-Undang Telekomunikasi”) dan para operator jasa dengan mengacu pada formula yang ditentukan Pemerintah. Pemerintah mengatur industri telekomunikasi melalui Departemen Perhubungan (“MOC”) dan selanjutnya Departemen Perhubungan dan Informatika (“MOCI”). KPPU juga menerima bahwa para operator telekomunikasi seluler saat ini memenuhi peraturan-peraturan dalam menentukan tarif yang menetapkan harga plafon yang berlaku di Indonesia. Keduanya adalah bagian dari pengaturan sebelum Undang-Undang No.36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi 70 mulai berlaku.
Dalam batasan formula sempit yang diharuskan untuk tarif yang ditetapkan Pemerintah, tarif ditentukan oleh Dewan Direksi di mana baik Temasek, ataupun SingTel atau ST Mobile tidak mempunyai suara terbanyak. Ini dikonfirmasikan oleh perwakilan ST Mobile, Tuan Sean Slattery, selama Pemeriksaan atas ST Mobile pada tanggal 23 Juli 2007 dan juga perwakilan Telkomsel selama Pemeriksaan Telkomsel pada tanggal 13 Juli 2007 sebagaimana tercantum di bawah ini.
Pemeriksaan ST Mobile. KPPU: Ada kecenderungan ketika mengkaji secar ekonomis tarif Telkomsel menjadi Leader dalam industri. Telkomsel memasang tarif tinggi, apakah ini diketahui SingTel Mobile? Jawaban: Tarif ditentukan Direksi Telkomsel, SingTel Mobile tidak terlibat. Tidak seorang pun dari SingTel telah memberikan saran atau usulan kepada siapapun di Telkomsel, termasuk pihak yang ditunjuk ST Mobile dalam Dewan Komisaris atau Dewan Direksi Telkomsel, yang berkaitan dengan tarif atau penetapan harga (pricing). Selanjutnya, mayoritas Dewan Direksi pada Telkomsel diangkat oleh mayoritas pemegang saham, yakni PT Telkom. Oleh karena itu, jika ada pihak memiliki kedudukan untuk mempengaruhi secara material terhadap tarif Telkomsel, maka pihak tersebut adalah PT Telkom dan bukan Temasek, SingTel atau ST Mobile. Tidak ada saran yang mengusulkan bahwa Temasek, SingTel atau ST Mobile kenyataannya memiliki pengaruh material terhadap kebijakan Telkomsel tentang tarif.

Pembelaan Ketiga Tidak ada Bukti Pelanggaran Terhadap Posisi Dominan

Seorang ahli dimintai pendapat sebagai saksi ahli yaitu Profesor Hikmahanto yang menyatakan bahwa STT (pemilik saham Telkomsel) semata-mata berada dalam posisi dominan sebagai hasil dari kepemilikan silang mayoritas dari beberapa perusahaan tidak serta merta merupakan pelanggaran terhadap UU Anti Monopoli. Hanyalah penyalahgunaan posisi tersebut yang menyebabkan terjadinya pelanggaran terhadap UU Anti Monopoli.
Pandangan Profesor Hikmahanto adalah bahwa Pasal 27 huruf a dari UU Anti Monopoli harus dibaca berdasarkan Rule of Reason Pasal 27 huruf a dari UU Anti Monopoli merupakan Bagian Posisi Dominan dan dalam hal ini; Pasal 27 huruf a dari UU Anti Monopoli tersebut harus dibaca secara bersama-sama dengan penyalahgunaan spesifik dari Posisi Dominan yang dilarang oleh Pasal 25 dari UU Anti Monopoli. Pembacaan secara luas dari Pasal 27 huruf a dari UU Anti Monopoli, bahwa keberadaan suatu Posisi Dominan semata-mata adalah melawan hukum akan membuat kerancuan pada Pasal 25 dari UU Anti Monopoli karena Pasal 25 dari UU Anti Monopoli hanya diterapkan jika Posisi Dominan disalahgunakan.
KPPU oleh karena itu harus membuktikan tuduhan - tuduhan nya bahwa STT telah nyata-nyata mempergunakan kepemilikannya untuk mengurangi tingkat persaingan di pasar. Kepemilikan mayoritas saja bukanlah pelanggaran terhadap undang-undang.
KPPU harus membuktikan adanya penyalahgunaan dari posisi dominan. KPPU harus juga membuktikan hubungan sebab akibat antara kepemilikan saham STT dan tuduhan pengurangan persaingan. Hanyalah penyalahgunaan posisi yang merupakan pelanggaran. Dinyatakan bahwa KPPU belum dapat melakukan pembuktian dalam hal ini.
Menurut Telkomsel bahwa Telkomsel tidak terbukti menyalahgunakan posisi dominan untuk penguasaan pasar dan pengembangan teknologi disebabkan karena :
1. Dari Aspek legal, tidak ada bukti secara legal Telkomsel menyalahgunakan posisi dominan untuk penguasaan pasar.
2. Dari aspek praktek usaha, Telkomsel selalu mengikuti regulasi yang berlaku di Indonesia, mulai dari proses penetapan tarif, penyampaian report ke regulator, komitment terhadap pengembangan infrastruktur telekomunikasi di Indonesia sebagai persyaratan terhadap license yang didapat oleh Telkomsel.
3. Dapat disimpulkan berkembangnya bisnis usaha telkomsel murni disebabkan karena Telkomsel melakukan praktek usaha yang sehat dan kinerja yang optimal sejalan dengan misi Telkomsel untuk mewujudkan service leadership company (dalam hal coverage, quality, capacity dan layanan)
“Interpretasi sistematis” KPPU mengenai Pasal 27 sebenarnya membuat rancu konsep mengenai ‘mayoritas’ untuk dapat mempengaruhi pengambilan keputusan dalam sebuah perusahaan. Sebagai contoh, dalam interpretasi Sistematis, KPPU mengatakan bahwa kepemilikan saham sebesar 25% dapat merupakan sebuah kepemilikan saham mayoritas karena dapat memveto keputusan tertentu. Ini jelas salah. Hanya karena satu pihak memiliki kemampuan untuk menghalangi pengambilan keputusan tertentu dalam suatu perusahaan tidak berarti bahwa pihak tersebut merupakan “pemegang saham mayoritas” dalam perusahaan tersebut.Melalui rezim “one share one vote”, keputusan dalam RUPS pada umumnya dapat dicapai melalui simple majority, yaitu vote diatas 50%. Dengan demikian kendali atas perusahaan tersebut diperoleh jika pelaku usaha memiliki saham diatas 50%.

HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL

URGENSI PEMBENTUKAN PERATURAN BIDANG PERLINDUNGAN VARIETAS TANAMAN
DITINJAU DARI ASPEK LEGAL VALIDITY

(Kajian Analitis Kritis terhadap Pembentukan UU No. 29 Tahun 2009
Tentang Perlindungan Varietas Tanaman)


I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam kehidupan bernegara, salah satu hal yang harus ditegakkan adalah suatu kehidupan hukum dalam masyarakat.[1] Hal tersebut perlu dilakukan agar hukum yang diciptakan dapat sesuai dengan kebutuhan hukum masyarakat dan menjamin rasa keadilan bagi seluruh masyarakat. Sebagaimana adagium yang mengatakan ibi ius ibi society yang mendefinisikan hukum berkembang dan tumbuh dalam masyarakat, dan dimana ada masyarakat disitu ada hukum. Jadi hukum terdapat dalam masyarakat manusia. Dalam setiap masyarakat selalu ada sistem hukum.[2] Hal tersebut menunjukkan sangat erat hubungan antara hukum dengan masyarakat. Dalam melaksanakan peranan pentingnya bagi masyarakat, hukum mempunyai fungsi, seperti penertiban, pengaturan, penyelesaian pertikaian dan sebagainya sedemikian rupa, sehingga dapat mengiringi masyarakat yang berkembang.[3]
Suatu pendekatan yang telah dilakukan oleh E. Adamson dan Karl Llwellyn dalam melihat fungsi hukum dalam menjaga keutuhan masyarakat dapat berupa :

1. Menetapkan hubungan antara warga masyarakat, dengan menetapkan perikelakuan mana yang diperbolehkan dan mana yang dilarang.
2. Membuat alokasi wewenang (authority) dan menentukan dengan seksama pihak-pihak yangs secara sah dapat melakukan paksaan dengan sekaligus memilih sanksi-sanksi yang tepat dan efektif.
3. Disposisi masalah-masalah sengketa.
4. Menyesuaikan pola-pola hubungan dengan perubahan-perubahan kondisi kehidupan.[4]

Dari fungsi hukum tersebut diatas dapat dilihat bahwa selain berfungsi mengatur hubungan antara masyarakat dengan pemerintah dan antar sesama masyarakat itu sendiri hukum juga memiliki fungsi sebagai sarana penyelaras hubungan masyarakat yang terus berkembang dengan perubahan-perubahan kondisi kehidupan.
Perubahan-perubahan pada masyarakat-masyarakat didunia dewasa ini, merupakan gejala yang normal, yang pengaruhnya menjalar dengan cepat ke bagian-bagian lain dari dunia, antara lain berkat adanya komunikasi modern. Penemuan-penemuan baru dibidang teknologi, terjadinya suatu revolusi, modernisasi pendidikan, dan seterusnya terjadi di suatu tempat, dengan cepat dapat diketahui oleh masyarakat lain yang letaknya jauh dari tempat tersebut.[5].
Namun disisi lain situasi hubungan individu antar negara sudah tidak bisa dipisahkan lagi oleh jarak dan waktu (borderless), sehingga penemuan-penemuan baru dari para inventor bukan tidak mungkin akan dinikmati dan dimanipulasi oleh individu yang tidak memiliki hak atas invensi tersebut. Termasuk didalamnya penemuan dibidang teknologi pertanian yang merupakan andalan negara Indonesia sebagai negara agraris.
Sistem globalisasi akibat pengaruh majunya teknologi informasi, membawa konsekuensi bagi negara berkembang perlunya profesionalisasi peningkatan daya saing produk-produk dalam negeri. Demikian pula untuk negara Indonesia, dimana sektor pertanian merupakan sektor non migas motor penggerak perekonomian.Usaha agribisnis dimana produk pertanian sebagai objeknya merupakan sektor ekonomi rakyat merupakan andalan Indonesia dalam perdagangan bebas. Hal tersebut dilihat sisi permintaan (demand side) pasar produk agribisnis cukup besar, baik di pasar internasional maupun didalam negeri, Indonesia memiliki sumberdaya melimpah bagi pengembangan agribisnis selain memiliki lembaga penelitian dan pengembangan potensial untuk dikembangkan.[6]

Upaya pengembangan potensi agribisnis tersebut tidak terlepas dari campur tangan pemerintah dalam pengelolaanya. Dalam bentuk konkritnya dilakukan dengan mengeluarkan aturan yang jelas mengenai perlindungan hukum terhadap upaya pengembangan dan bagi pengembang itu sendiri.
Oleh karena itu diperlukan peraturan-peraturan perundang-undangan Hak Milik Intelektual bidang varietas tanaman yang lebih tepat, dapat memberikan perlindungan secara komprehensif, jelas dan tegas sehingga dapat menjamin situasi yang kondusif untuk mengembangkan inovasi, terutama dalam memperbaiki potensi genetik varietas tanaman dengan menggali dan memanfaatkan semua potensi kekayaan alam untuk dapat menghasilkan varietas yang lebih unggul.[7]
Untuk itu pemerintah Indonesia telah mengeluarkan suatu peraturan mengenai perlindungan bagi individu-individu atau masyarakat yang telah melakukan pengembangan dibidang agribisnis yaitu dikeluarkannya UU no 29 Tahun 2000 Tentang Perlindungan Varietas Tanaman.
Salah satu pemicu lahirnya UU ini adalah guna lebih meningkatkan minat dan peran serta baik perseorangan maupun badan usaha untuk melakukan kegiatan pemuliaan dalam rangka menghasilkan varietas unggul baru, kepada pemulia tanaman atau pemegang hak perlindungan varietas tanaman (selanjutnya disingkat perlindungan varietas tanaman) perlu diberikan hak tertentu serta perlindungan hukum atas hak tersebut secara memadai berupa hak perlindungan varietas tanaman.[8] Tapi kurang tepat apabila UU Perlindungan Varietas Tanaman ini hanya diperuntukkan untuk memberikan hak perlindungan varietas tanaman saja. Karena disamping memperhatikan kepentingan pengembang varietas tanaman masih terdapat faktor-faktor lain yang turut melandasi pembentukan Undang-undang Perlindungan Varietas Tanaman tersebut. Hal itu disebabkan masalah varietas tanaman tidak termasuk dalam objek pengaturan paten pada waktu pertama kali UU Paten dikeluarkan. Dan setelah beberapa kali mengalami perubahan akhirnya UU Paten mencantumkan varietas tanaman sebagai perpanjangan hak ekslusif dari hak kekayaan intelektual di bidang paten. Untuk itulah penulis akan membahas apa yang menjadi penyebab secara urgensi dikeluarkannya UU Perlindungan Varietas Tanaman dengan melihat latar belakang keabsahan hukum atau legal validity dari UU tersebut.

B. Permasalahan

Dari uraian latar belakang diatas dapat dirumuskan permasalahan yaitu apa yang melatar belakangi urgensi pembentukan Undang-undang Perlindungan Varietas Tanaman ditinjau dari aspek legal validity?

C. Metode Penelitian
Dalam penulisan makalah ini metode yang digunakan adalah metode analisis deskriptif, dimana dipaparkan mengenai latar belakang dibentuknya Undang-undang Perlindungan Varietas Tanaman beserta aspek legal validity yang menyertainya.

II.Tinjauan Pustaka

Hukum secara sosiologis adalah penting dan merupakan suatu lembaga kemasyarakatan (social institution) yang merupakan himpunan nilai-nilai, kaidah-kaidah, dan pola-pola prikelakuan yang berkisar pada kebutuhan-kebutuhan pokok manusia.[9]
Untuk itulah hukum harus dirumuskan dengan memakai metoda yang mampu menjamin keberlangsungan hukum itu sendiri. Salah satu syarat agar suatu hukum dapat bertahan adlah dengan mememnuhi persyaratan yang dibutuhkan dalam penegakkan huku itu sendiri,sebagaimana yang diungkapkan oleh L.M. Friedman yaitu adanya :
1. Aturan hukum (legal substance).
2. Kelembagaan hukum (legal structure)
3. Budaya hukum (legal culture)[10]
Pada aspek pertama yaitu legal substansi merupakan patokan awal apakah suatu hukum layak dibuat atau tidak ataukah layak diterapkan atau tidak, karena untuk menjadi suatu UU yang konkrit, terlebih dahulu harus melalui tahap legislasi dengan melalui perumusan RUU. Hal ini dapat dimulai dengan meninjau sifat urgensi dari dibentuknya RUU tersebut. Hal itu sesuai dengan konsep pengaturan RUU yang meliputi :
1. Urgensi dan tujuan penyusunan.
2. Sasaran yang ingin diwujudkan.
3. Pokok pikiran, lingkup, atau objek, yang akan diatur.
4. Jangkauan serta arah pengaturan.
Dari konsep diatas dapat diuraikan bahwa :
1. Yang diuraikan secara singkat dalam urgensi dan tujuan penyusunan RUU adalah latar belakang filosofis, yuridis dan sosiologis perlu disusun RUU, serta tujuannya apakah untuk mengatur, menetapkan, mengubah, suatu UU, mengarahkan untuk mengubah perilaku masyarakat, ataukah hanya mengangkat nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.
2. Sasaran yang ingin diwujudkan berisi uraian ringkas apakah RUU (UU) yang akan disusun tersebut untuk meningkatkan kepatuhan atau kesadaran masyarakat atau memberikan beban kepada masyarakat. Sedangkan sasaran dalam artian adressat kepada masyarakat, apakah RUU tersebut ditujukan kepada seluruh lapisan masyarakat ataukah terutama hanya untuk kelompok masyarakat tertentu, misalnya RUU Advokat, RUU Praktik kedokteran, RUU Jabatan Notaris.
3. Yang dimuat dalam pokok-pokok pikiran lingkup atau objek yang akan diatur dalamn RUU adalah substansi atau yang sering disebut materi muatan, atau isi dalam bentuk uraian singkat berupa pokok-pokok pikiran, lingkup, dan objek yang akan diatur.
4. Yang dimaksud dengan jangkauan dan arah pengaturan adalah jangkauan dan arah pengaturan RUU tersebut untuk orang/masyarakat, yaitu apakah hanya untuk sekelompok masyarakat atau berlaku untuk umum (seluruh warga negara atau masyarakat).[11]
Sedangkan tujuan penyusunan suatu UU tergantung dari peruntukan UU tersebut. Dalam fungsinya sebagai perlindungan kepentingan manusia hukum mempunyai tujuan. Hukum mempunyai sasaran yang hendak dicapai[12]. Sasaran tersebut dapat dituangkan kedalam RUU yang akan dibuat. Dalam pembuatan UU tersebut harus dilihat terlebih dahulu sumber dari aturan yang akan dibuat.
Menurut Van Apeldoorn, terdapat empat macam sumber hukum yaitu :
1. Sumber hukum dalam arti historis, yaitu tempat kita dapat menemukan hukumnya dalam sejarah atau dari segi historis. Sumber hukum dalam arti historis ini dibagi lebih lanjut menjadi dua, yaitu :
a. Sumber hukum yang merupakan tempat dapat diketemukan atau dikenal hukum secara historis : dokumen-dokumen kuno, lontar dan sebagainya.
b. Sumber hukum yang merupakan tempat pembentuk undang-undang mengambil bahnnya.
2. Sumber hukum dalam arti sosiologis (teleologis) merupakan faktor-faktor yang menentukan sisi hukum positif, seperti misalnya keadaaan agama, pandangan agama dan sebagainya.
3. Sumber hukum dalam arti filosofis, yang dibagi lebih lanjut menjadi dua :
a. sumber isi hukum; disini dinyatakan isi hukum itu asalnya dari mana.
b. Sumber kekuatan mengikat dari hukum.
4. Sumber hukum dalam arti formil, yang dimaskudkan ialah sumber dilihat dari cara terjadinya hukum positif merupakan fakta yang menimbulkan hukum yang berlaku yang mengikat hakin dan penduduk. Isinya timbul dari kesadaran masyarakat.[13]
Dengan diketahuinya sumber hukum tersebut dapat diukur mengenai kekuatan keberlakuan suatu hukum. Kemudian untuk merumuskan apakah hukum tersebut telah dianggap mengakomodir kepentingan masyarakat adalah dengan menguji keabsahan UU tersebut dengan metoda legal validity atau keabsahan hukum.
Legal validity atau keabsahan hukum merupakan dasar pemberlakuan suatu hukum. Hukum yang memadai menurut Bagir Manan mengandung tiga unsur penting yang tercakup dalam suatu UU yaitu kaidah-kaidahnya sah secara hukum (legal validity), dan berlaku secara memadai, karena dapat diterima oleh masyarakat secara wajar dan berlaku dalam jangka panjang. Unsur-unsur tersebut adalah unsur yuridis, sosiologis dan filosofis.[14]
Aspek filosofis dan sosiologis merupakan aspek yang penting dalam proses perancangan peraturan perundang-undangan agar undang-undang setelah diterbitkan pemerintah dapat efektif dan diterima masyarakat. Pengabaian aspek filosofdis dan sosiologis dalam perancangan peraturan perUU akan menyebabkan penurunan kualitas dari perUU tersebut.[15]

III. PEMBAHASAN

A. Varietas Tanaman Sebagai Plasma Nutfah Yang Harus Dilindungi.


Indonesia adalah negara beriklim tropis dengan sebagian besar wilayahnya terletak di daerah tropis yang dilintasi oleh garis Khatulistiwa. Pergeseran posisi matahari setiap tahunnya menyebabkan sebagian besar wilayah Indonesia mempunyai dua musim, yaitu musim hujan dan musim kemarau.
Dengan adanya musim hujan menyebabkan Indonesia memiliki iklim hujan tropis yang berpengaruh kepada persebaran flora dan fauna. Iklim tropis tersebut dapat dikenali melalui tumbuhan yang sangat besar dan selalu hijau sepanjang tahun. Hutan hujan tropis terdapat di daerah tropis dan subtropis. Hutan ini sepanjang tahun selalu mendapatkan air dan mempunyai spesies pepohonan yang beragam. Ciri-ciri tanaman daerah hujan tropis biasanya sebagai berikut:
1. Masa pertumbuhan tanaman lama,
2. Jenis tanaman banyak.
3. Memiliki ketinggian 20-40 meter.
4. Berdaun lebar.
5. Hutan basah.
6. Jenis pohon sulur sehingga kayu keras.
Dengan banyaknya persebaran tanaman tersebut, di beberapa bagian di wilayah Indonesia ada yang memiliki tanaman khas atau endemik yang tidak dimiliki oleh daerah lain, termasuk daerah yang juga memiliki hutan hujan tropis lainnya sekalipun.
Adapun contoh tumbuhan yang merupakan endemik Indonesia antara lain adalah dari genus Rafflesia yaitu Rafflesia arnoldi (endemik di Sumatra Barat, Bengkulu, dan Aceh), R. Borneensis (Kalimantan), R. cilliata (Kalimantan Timur), R. horsfilldii (Jawa), R. patma (Nusa Kambangan dan Pangandaran), R. rochussenii (Jawa Barat), dan R. contleyi (Sumatera bagian timur).
Dari satu genus tanaman tersebut saja, Indonesia sudah memiliki banyak spesies turunan makin menambah kekayaan hayati Indonesia. Hal tersebut dapat lebih berkembang lagi apabila terhadap tanaman tersebut diberi perlakuan khusus untuk memperoleh jenis tanaman baru yang disebut dengan proses varietas tanaman. Upaya memperbanyak varietas tanaman merupakan faktor penunjang keberhasilan pembangunan pada sektor pertanian. Kemampuan untuk menghasilkan varietas baru khususnya varietas unggul bermutu merupakan potensi bangsa yang harus dikembangkan.. Varietas merupakan faktor yang sangat menentukan kuantitas dan kualitas produk pertanian. Penggunaan varietas yang mempunyai sifat-sifat unggul merupakan teknologi andalan yang digunakan oleh masyarakat, relatif murah dan memiliki kompatibilitas yang tinggi dan tidak mencemari lingkungan. Di samping itu penggunaan varietas unggul diharapkan proses produksi menjadi lebih efisien serta produktivitas dan mutu hasil menjadi lebih baik.
Dalam proses penciptaannya suatu varietas baru tanaman dihasilkan melalui perakitan yang lazim disebut pemuliaan tanaman. Pemuliaan adalah suatu proses dan juga mengasilkan produk. Sebagai seorang pemulia, diperlukan penguasaan ilmu dan teknologi serta memerlukan pencurahan pikiran, tenaga, waktu dan dana yang cukup besar. Rumitnya kegiatan ini mengharuskan adanya penghargaan atas hasil invensi para pemulia melalui pemberian jaminan perlindungan hukum yang jelas dan tegas. Adanya kepastian hukum akan mendorong para pemulia lebih giat melakukan penelitian untuk menghasilkan varietas baru tanaman yang unggul.
Varietas Tanaman yang selanjutnya disebut Varietas, adalah sekelompok tanaman dari suatu jenis atau spesies yang ditandai oleh bentuk tanaman, pertumbuhan tanaman, daun, bunga, buah, biji, dan ekspresi karakteristik genotipe atau kombinasi genotipe yang dapat membedakan dari jenis atau spesies yang sama oleh sekurang-kurangnya satu sifat yang menentukan dan apabila diperbanyak tidak mengalami perubahan.


B. Urgensi Lahirnya Undang-Undang Perlindungan Varietas Tanaman di Indonesia ditinjau dari Aspek Legal Validity

Berkaitan dengan varietas baru tanaman, terdapat satu konvensi internasional yang khusus memberikan perlindungan bagi hal tersebut. Ketentuan internasional tersebut adalah International Convention for The Protection of New Varieties of Plants (UPOV Convention) yang dibentuk untuk melindungi hak pemulia (breeder’s rights) yang mengacu pada Agreement on Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights (TRIPs Agreement).
Urgensi mengenai lahirnya UU Varietas Tananam di Indonesia, sendiri tidak terlepas dari tuntutan dan sekaligus sebagai konsekuensi Indonesia atas keikutsertaannya sebagai negara penandatangan kesepakatan GATT/WTO 1994, yang salah satu dari rangkaian persetujuan itu memuat tentang kesepakatan TRIPs. Persetujuan itu mengisyaratkan setelah ratifikasi, Indonesia harus menyelaraskan peraturan perUU bidang HAKI-nya dengan persetujuan TRIPs, yang salah satu didalamnya termasuk perlindungan Varietas Baru Tanaman.[16]
Sebenarnya perlindungan tentang varietas tanaman sudah lama diatur yaitu dengan dikeluarkannya UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan ekosistemnya. Kemudian disusul UU No. 2 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman, kemudian disusul dengan UU No. 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan dan Tanaman. Akan tetapi UU tersebut diatas tidak memberikan perlindungan terhadap hak-hak yang dimiliki oleh pemulia tanaman hanya memberikan penghargaan (reward), seperti halnya keuntungan/manfaat apa yang akan diperoleh oleh pemulia tanaman apabila varietas tanaman barunya diperbanyak atau dijual.[17]
Perlindungan HAKI yang berkaitan dengan varietas tanaman baru dimulai dari UU Paten 1989, yang tidak mengizinkan perlindungan paten bagi makanan, minuman dan varietas tanaman. Hal tersebut dengan alasan bagi negara Indonesia, masalah benih (varietas tanaman) sebagai awal dalam mendapatkan produksi pangan merupakan masalah yang sangat pokok sifatnya dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat. Juga dirasakan sebagian besar petani dan peternak di Indonesia masih dapat digolongkan sebagai ekonomi lemah yang akan sangat berat sekali bila harus menanggung biaya atas benih (varietas tanaman) yang dilindungi paten.[18]
Pada tahun 1997 UU tersebut diamandemen dan mencabut pasal yang menagtur pelaranagan perlindungan varietas tanaman.. Artinya varietas tanaman baru dilindungi. Namun UU Paten yang baru UU no 14 Tahun 2001 telah mengubah kembali hal yang berkaitan dengan perlindungan tanaman yang menyatakan bahwa Paten tidak diberikan untuk semua makluk hidup kecuali jasad renik dan juga tidak diberikan kepada proses biologis yang esensial untuk memproduksi tanaman atau hewan, kecuali proses non biologis atau proses mikrobiologis. Hingga akhirnya pada tahun 2000 melalui UU No. 29 Tahun 2000 dikeluarkan aturan mengenai Perlindungan Varietas Tanaman yang lebih pasti dan terinci.
Dari dinamika perkembangan perlindungan varietas tanaman tersebut diatas dapat dicermati permasalahan mengenai urgensi dari dikeluarkannya UU Perlindungan Varietas Tanaman sejak dari diratifikasinya kesepakatan TRIPs hingga dikeluarkannya UU Perlindungan Varietas Tanaman No. 29 Tahun 2000 disyahkan pada tanggal 20 Desember 2000 dan khusus mengatur perlindungan varietas tanaman secara tersendiri serta mengakui bahwa perlindungan Varietas Tanaman merupakan hak kekayaan intelektual di bidang industri dan pengelolaannya berada di bawah koordinasi Departemen Pertanian. Undang-undang RI No. 29 tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman.
UU tersebut kemudian disempurnakan dengan mengeluarkan beberapa peraturan pelaksanaan di bidang perlindungan varietas tanaman yaitu sebagai berikut:
1. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 13 Tahun 2004 tentang Penamaan, pendaftaran dan Penggunaan Varietas Turunan Esensial;
2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 14 Tahun 2004 tentang Syarat dan Tata Cara Pengalihan Perlindungan Varietas Tanaman dan Penggunaan Varietas yang Dilindungi oleh Pemerintah;
3. Keputusan Menteri Pertanian No. 442/Kpts/HK.310/7/2004 tentang Syarat dan Tata Cara Permohonan dan Pemberian Hak Perlindungan Varietas Tanaman;
4. Keputusan Menteri Pertanian No. 443/Kpts/KU.330/7/2004 tentang Biaya Pengelolaan Hak Perlindungan Varietas Tanaman;
5. Keputusan Menteri Pertanian No. 444/Kpts/OT.160/7/2004 tentang Pembentukan Komisi Perlindungan Varietas Tanaman;
6. Keputusan Menteri Pertanian No. 445/Kpts/OT.140/7/2004 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Komisi Banding Perlindungan Varietas Tanaman;
7. Keputusan Menteri Pertanian No. 446/Kpts/HK.310/7/2004 tentang Syarat dan Tata Cara Pendaftaran Konsultan Perlindungan Varietas Tanaman.
Dari peraturan-peraturan diatas baik peraturan induk maupun peraturan pendukung jelas berujung kepada penciptaan payung hukum terbaik yang disesuaikan dengan hakekat pembentukan UU itu sendiri yang tujuan utamanya adalah menjamin rasa keadilan bagi pihak-pihak yang terkait dengan vrietas tanaman. Namun apakah Aturan-aturan dalam UU Perlindungan Varietas Tanaman itu sendiri telah dirasakan memberikan manfaat dan memenuhi tujuan dibentuknya UU tersebut mengingat UU Perlindungan Varietas Tanaman sendiri lahir dari adanya urgensi akibat diratifikasinya TRIPs Agreement perlu ditinjau dari aspek legal validity hukum itu sendiri.
Idealnya dalam suatu pembentukan suatu peraturan perUndang-undangan ada beberapa faktor pemikiran yang melandasi pembentukan UU tersebut. Dalam fungsinya sebagai perlindungan kepentingan manusia hukum mempunyai tujuan. Hukum mempunyai sasaran yang hendak dicapai[19]. Demikian juga dengan hukum yang mengatur bidang varietas tanaman. Terdapat dasar hukum legal validity yang menyebabkan mengapa dikeluarkannya UU Perlindungan Varietas Tanaman.
Dari penentuan sistem hukum diatas dapat dilihat bahwa kekuatan hukum UU Perlindungan Varietas Tanaman merupakan aturan hukum yang muncul dari perintah penguasa yang merupakan dasar keberlakukan hukum. Undang-undang dalam fungsinya sebagai sumber hukum dalam pengertiannya sebagai asal hukum positif berwujud sebagai keputusan penguasa yang berwenang. Dalam hal ini badan pembentuk UU.[20]
Bila ditinjau dari unsur-unsur yang menjadi landasan legal validity suatu peraturan hukum, maka unsur-unsur yang harus dikandung oleh UU Perlindungan Varietas Tanaman sehingga berlaku memadai dan dapat diterima oleh masyarakat dalam jangka waktu panjang harus mememnuhi unsur yuridis, sosiologis dan filosofis.[21]
Dari ketiga aspek tersebut bila dihubungkan dengan UU Perlindungan Varietas Tanaman dapat diklasifikasikan aspek legal validitynya adalah sebagai berikut :
1. Aspek Filosofis
Dasar filosofis yang harus tertuang dalam UU Perlindungan Varietas Tanaman yaitu dasar cita yang diharapkan atau dicita-citkan oleh masyarakat atau inventor. Dasar filosofis rechtside bangsa Indonesia adalah Pancasila. Nilai-nilai Pancasila tersebut harus terakomodir dalam UU Perlindungan Varietas Tanaman dalam bentuk karakter demokrasi dan berkeadilan. Sebagai dasar filosofis yang perlu diakomodir dalam perundang-undangan tersebut yaitu dasar cita yang diharapkan atau dicita-citakan oleh masyarakat Indonesia (rechtside), yang dibiarkan tumbuh dalam kehidupan bangsa Indonesia yaitu nilai-nilai yang tertuang dalam Pancasila berupa nilai kesinambungan, berkarakter demokratis, berkeadilan sehingga dapat mnewujudkan ketertiban.[22]
Sebagai implementasi nilai-nilai filosofi Pancasila tersebut, UU Perlindungan Varietas Tanaman telah membatasi monopoli dengan fungsi sosial. Hak ekslusif dalam perlindungan varietas tanaman tidak bersifat mutlak namun mengatur keseimbangan antara individu/pemulia dan kepentingan masyarakat. Selain itu dasar filosofis juga tertuang dalam perlindungan hukum bagi pengetahuan tradisional akan mengurangi atau menghapus rasa ketidakadilan bagi masyarakat tradisional. Hal ini terjadi karena petani tradisional yang telah berkontribusi secara turun temurun untuk pengetahuan tradisional akan mendapat kompensasi. Mencegah penggunaan pengetahuan dengan cara yang merugkan pemiliknya merupakan pengakuan luar biasa terhadap nilai pengetahuan tradisional, adalah menghormati siapapun yang telah memeliharanya.[23]
Hal tersebut akan mengantarkan kesejahteraan bagi negara Indonesia sebagai negara berkembang, perlindungan akan menjaga sumberdaya secara optimal untuk memunculkan standar kehidupan perekonomian yang lebih baik selain memelihara lingkungan.

2. Aspek Yuridis
Unsur yuridis berupa ketentuan dan peraturan yang bersifat mengikat. Dikaitkan dengan varietas tanaman, prinsip tersebut diwujudkan dalam bentuk peraturan yang berifat mengikat berupa hak ekslusif yang tepat serta perlu memperhatikan unsur sosiologis, berupa nilai-nilai yang ada dan berkembang dalam masyarakat Indonesia yang bercirikan gotong royong. Oleh karena itu perlu mempertimbangkan masyarakat petani kecil yang merupakan sebagian besar dari masyarakat Indonesia saerta turut memberikan kontribusi besar dalam mewujudkan pembangunan pertanian sebagai salah satu sektor pembangunan ekonomi. Hal tersebut harus diakomodir secara komprehensif dalam bentuk sitem perlindungan hukum yang tepat. Sejalan dengan teori pembangunan hukum bahwa hukum yang ditentukan tersebut harus sesuai dengan keberadaan masyarakat yang akan memanfaatkannya.
Sebagai lembaga yang dapat mewujudkan hal tersebut adalah pemerintah, aparat penegak hukum, maupun institusi lainnya yang berkaitan dengan pengelolaan agribisnis terkait dengan varietas tanaman antara lain industri perbenihan dan lembaga penelitian yang merangkum seluruh bagian secara utuh sehingga dapat mendukung pengembangan agribisnis berdaya saing tinggi.
Selanjutnya UU Perlindungan Varietas Tanaman sebagai salah satu bentuk rejim hukum HMI bersifat mengikat merupakan dasar bagi pemerintah sebagai upaya mewujudkan konsep negara kesejahteraan (welfare state) dalam melakukan inisiatif untuk melakukan pembuatan UU atau pembenahaan terhadap UU yang telah ada sehingga UU tersebut dapat dipatuhi karena dapat memebrikan perlindungan sesuai dengan harapan semua pihak terkait.

3. Aspek Sosiologis
Bentuk pemikiran dalam aspek sosisologis UU Perlindungan Varietas Tanaman adalah perlindungan varietas tanaman mencoba mengakomodir kenyataan yang ada yaitu terdapatnya nilai-nilai yang dianut dalam masyarakat terutama nilai yang dianut sebagian besar masyarakat Indonesia yaitu petani kecil. Penghargaan berupa hak eksklusif bagi para pemula berisfat monopilistis, tidak bersifat mutlak, tidak boleh melupakan kepentingan masyarakat petani kecil dan petani tradisional yang dengan pengetahuan dan pengalamannya juga menemukan dan mengembangkan varietas tanaman sehingga petani kecil dapat ikut berperan dalam pembangunan ekonomi, mengingat petani kecil di Indonesia menempati angka terbesar sehingga memiliki peran strategis dalam memberikan kontribusi bagi pembangunan ekonomi apalagi dikaitkan dengan konteks persaingan dalam menghadapi era perdagangan bebas. Hal tersebut mulai tercermin dari UU Paten Tahun 1989 hingga UU Perlindungan Varietas Tanaman Tahun 2000.

IV. Kesimpulan

Urgensi mengenai lahirnya UU Varietas Tananam di Indonesia tidak terlepas dari tuntutan dan sekaligus sebagai konsekuensi Indonesia atas keikutsertaannya sebagai negara penandatangan kesepakatan GATT/WTO 1994, yang salah satu dari rangkaian persetujuan itu memuat tentang kesepakatan TRIPs. Persetujuan itu mengisyaratkan setelah ratifikasi, Indonesia harus menyelaraskan peraturan perUU bidang HAKI-nya dengan persetujuan TRIPs, yang salah satu didalamnya termasuk perlindungan Varietas Baru Tanaman.
Sedangkan aspek-aspek yang dikandung oleh UU Perlindungan Varietas Tanaman memuat tiga aspek yaitu aspek filososfis, yuridis dan sosiologis. Sebagai implementasi nilai-nilai filosofis, UU Perlindungan Varietas Tanaman telah membatasi monopoli dengan fungsi sosial. Hak ekslusif dalam perlindungan varietas tanaman tidak bersifat mutlak namun mengatur keseimbangan anatara individu/pemulia dan kepentingan masyarakat.
Aspek yuridis diwujudkan dalam bentuk peraturan yang berifat mengikat berupa hak ekslusif yang tepat serta perlu memperhatikan unsur sosiologis, berupa nilai-nilai yang ada dan berkembang dalam masyarakat Indonesia yang bercirikan gotong royong. Oleh karena itu perlu mempertimbangkan masyarakat petani kecil yang merupakan sebagian besar dari masyarakat Indonesia saerta turut memberikan kontribusi besar dalam mewujudkan pembangunan pertanian sebagai salah satu sektor pembangunan ekonomi. Dan untuk aspek sosiologis UU Perlindungan Varietas Tanaman mencoba mengakomodir kenyataan yang ada yaitu terdapatnya nilai-nilai yang dianut dalam masyarakat terutama nilai yang dianut sebagian besar masyarakat Indonesia yaitu petani kecil. Penghargaan berupa hak eksklusif bagi para pemula berisfat monopilistis, tidak bersifat mutlak, tidak boleh melupakan kepentingan masyarakat petani kecil dan petani tradisional yang dengan pengetahuan dan pengalamannya juga menemukan dan mengembangkan varietas tanaman sehingga petani kecil dapat ikut berperan dalam pembangunan ekonomi.


DAFTAR PUSTAKA


Dimyati,, Khudzaifah, 2005, Teorisasi Hukum, Studi Tentang Perkembangan Pemikiran Hukum, Surakarta, Muhammadiyah University Press.

Hartono, Sri Redjeki, 1996, Kompedium Bidang Hukum Dagang (Hak Milik Intelektual): Latar Belakang dan Implikasi Perlindungan Paten di Indonesia Menjelang Pelaksanaan Persetujuan TRIPs/WTO, Jakarta, BPHN/Depkeh.

Mertokusumo, Sudikno, 2003, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Yogyakarta, Liberty.

Natabaya, AS, 2006, Sistem Peraturan PerUndang-undangan, Jakarta, Penerbit Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI.

Nuraini, Nina. 2007, Perlindungan Hak Milik Intelektual Varietas Tanaman (Guna Peningkatan Daya Saing Agribisnis), Bandung, Alfabeta.

Riyanto, Budi, Tanpa Tahun, Hukum Kehutanan dan Sumber Daya Alam, Bogor, Lembaga Pengkajian Hukum Kehutanan dan Lingkungan.

Saidin, 2006, Aspek Hukum Hak kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights), Jakarta, PT RajaGrafindo Persada.

Soehini, 1996, Hukum Tata Negara, Teknik PerUndang-undangan, Jogjakarta, Liberty.

Soekanto, Soerdjono, 2001, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada.

----------------, 2004, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada.
Sugiasti, Natasya Yunita, 2003, Tradisi Hukum China, Negara dan Masyarakat, Jakarta, Penerbit FH UI
[1] Dimyati,, Khudzaifah, 2005, Teorisasi Hukum, Studi Tentang Perkembangan Pemikiran Hukum, Surakarta, Muhammadiyah University Press, Hal 1.
[2] Mertokusumo, Sudikno, 2003, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Yogyakarta, Liberty, Hal. 28.
[3] Soekanto, Soerdjono, 2001, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, Hal. 154.
[4] Soekanto, Soerdjono, 2004, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, Hal. 75.
[5] Ibid. Hal. 99.
[6] Nuraini, Nina. 2007, Perlindungan Hak Milik Intelektual Varietas Tanaman (Guna Peningkatan Daya Saing Agribisnis), Bandung, Alfabeta, Hal. 77.
[7] Ibid, Hal. 121.
[8] Ibid, Hal. 31.
[9] Soekanto, Soerjono, Op.cit, Hal 4.
[10] Sugiasti, Natasya Yunita, 2003, Tradisi Hukum Cina, Negara dan Masyarakat, Jakarta, Penerbit FH UI, , Hal.14.
[11] Natabaya, AS, 2006, Sistem Peraturan PerUndang-undangan, Jakarta, Penerbit Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Hal. 59.
[12] Mertokususmo, Sudikno, Op. cit. Hal. 77.
[13] Ibid, Hal 83
[14] Nuraini, Nina, Op. Cit. Hal. 121.
[15] Riyanto, Budi, Tanpa Tahun, Hukum Kehutanan dan Sumber Daya Alam, Bogor, Lembaga Pengkajian Hukum Kehutanan dan Lingkungan, Hal. 124.
[16] Saidin, 2006, Aspek Hukum Hak kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights), Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, Hal. 423.
[17] Ibid, Hal. 422.
[18] Hartono, Sri Redjeki, 1996, Kompedium Bidang Hukum Dagang (Hak Milik Intelektual): Latar Belakang dan Implikasi Perlindungan Paten di Indonesia Menjelang Pelaksanaan Persetujuan TRIPs/WTO, Jakarta, BPHN/Depkeh, Hal. 42.
[19] Mertokususmo, Sudikno, Op. Cit. Hal. 77.
[20] Soehini, 1996, Hukum Tata Negara, Teknik PerUndang-undangan, Jogjakarta, Liberty, Hal. 83.
[21] Nuraini, Nani, Op. Cit. Hal. 87.
[22] Ibid, Hal. 123.
[23] Ibid. Hal 124.

Wise Word

The Knowledgement Can Satisfy Your Need But Not Your Greed